Sabtu, 14 Mei 2011

Dan sebenarnya...

Saya bukanlah tipe orang yang mudah menuliskan, atau sekedar memindahkan apa yang ada di otak pada sebuah media lain. Terlalu absurd, mungkin. Tapi di sisi lain, saya juga tipe orang yang sangat haus akan perhatian. Bukan berarti cari perhatian, namun saya selalu merasa perlu untuk diperhatikan, oleh siapapun itu. Orang tua, teman, saudara, om, pakde, bude, kucing bahkan orang lain.

Tapi entah mengapa, keinginan tersebut tidak membuat saya menjadi orang yang suka mencari perhatian. Saya cenderung pasif untuk mengejar hal-hal yang ada di benak saya. Tidak mudah mengubah kepasifan saya. Bahkan untuk dituangkan dalam satu media, apapun itu, tersembunyi, dan orang lain tidak perlu tahu. Takut. Mungkin. Saya kurang bisa mendefinisikannya.

Sama halnya ketika saya harus mengaku bahwa saya sedang menyukai seseorang. Iya memang benar, saya kadang menceritakan (curhat) hal tersebut kepada orang lain. Orang yang saya anggap bisa dipercaya. Namun kenyataannya, apa yang saya beritahukan ke orang lain itu, belum sepenuhnya mewakili apa yang ada di benak saya. Singkatnya, saya memfilter apa yang saya utarakan pada orang lain. Saya memberi batasan pada diri sendiri.

Memang ada quote yang bunyinya : sometimes, things is better left unsaid.
Tapi bagaimana jika, things that better left unsaid tadi berteriak kencang seraya menggedor-gedor dinding pembatas yang saya dirikan dengan sungguh-sungguh. Bagaimana jika things that better left unsaid itu memenuhi tiap sudut otak saya. Melebihi kapasitas otak, dan meluber. Bocor di sana-sini. Bagaimana jika kemuakan dalam menyimpan things that better left unsaid itu terjadi. Apa iya harus saya paksakan untuk keluar, muntah dari mulutku, tanpa peduli ada orang lain yang harus mendengarnya atau tidak.

Jika jawabannya memuntahkan semuanya itu dengan posisi bersimpuh, tangan menengadah, bermaksud untuk menjalin koneksi dengan Tuhan, saya pernah, sering mungkin. Tapi tetap saja itu belum cukup. Jutaan pertanyaan, pernyataan, pujian, caci maki semua pernah saya sampaikan ke Dia. Entahlah, mereka (hal-hal) tersebut kemudian selalu mereproduksi diri mereka sendiri. Mungkin cara saya berkomunikasi dengan Tuhan keliru, tapi tidak mungkin, bukankah Tuhan Maha Mendengar?
….

…..
..
Ah, mungkin itu sesi curhat saya dengan Tuhan kurang panjang.
Mungkin…. ..

Rabu, 11 Mei 2011

Konspirasi Kucing




(ini postingan yang telat, harusnya diposting minggu lalu)

Sekian lama aku menunggu
Untuk kedatanganmu
Bukankah engkau telah berjanji
Kita jumpa di sini…..


Terdengar sayup-sayup suara merdu Ridho Roma di tengah kebisingan sore. Fase paling melelahkan dalam perputaran waktu. Sore yang riuh, bising, ramai meskipun tidak berlaku bagi semua. Satu keadaan penuh pengharapan.

Lalu datanglah pria paruh baya melangkah gontai menuju teras rumah. Dengan mukanya yang sayu dia merogoh semua saku yang menempel di kemeja dan celananya. Sejurus kemudian mimik mukanya berubah dan seolah berkata “oh tidak!” Dia tidak menemukan kunci rumahnya. Kemudian dia menyerah. Duduk di kursi lawas di teras rumah dengan muka tertekuk.

Begitulah adegan pembuka Monolog Kucing, sebuah monolog yang memuat kisah seorang yang terusik hidupnya gara-gara seekor kucing. Sebuah sindiran. Sebuah problema remeh temeh. Namun dibalik itu, terselip pesan kemanusiaan yang tersirat. Menusuk langsung pada hakekatnya.

Adalah cerita mengenai seseorang, yang harus ketiban sial karena tidak mempu menahan emosi untuk memukul seekor kucing. Kucing naas yang sukses mencuri menu ikan bakar rica-rica, menu buka puasa yang telah disiapkan sang istri. Kucing sial itu kemudian dipukul, dihantam hingga babak belur dan kemudian melarikan diri. Keesokan harinya, pria paruh baya tersebut mendapat kabar pahit. Kesialannya ternyata belum berakhir. Pak RT datang membawa kabar bahwa kucing yang dipukulnya semalam adalah kucing tetangganya yang bernama Pak Michael. Dia menuntut ganti rugi pengobatan kucingnya yang patah kaki.

Dengan berat hati dirinya membayar sejumlah “harga” yang dituntut Pak Michael. Nominal yang tidak sedikit bagi pekerja biasa sepertinya. Namun atas nama terciptanya “kedamaian” dia rela membayar harga yang tinggi tersebut.

Nyatanya, konflik tidak berhenti sampai di situ. Insiden kecil dengan kucing ternyata menciptakan konspirasi tingkat “RT”. Konspirasi kecil yang menyudutkan lakon utama pada titik kesakitan batin tertinggi. Sampai disadari, sebenarnya bukan kucing yang menjadi problema utama. Kucing hanya sarana untuk mengantarkan tokoh utama ke dalam lubang konflik yang makin dalam. Konflik yang bisa saja dialami kita semua.

Kesatuan yang menggugah

Putu Wijaya berhasil meracik sebuah alur cerita sederhana, namun lugas dan menarik. Penceritaan yang natural mengenai pria paruh baya yang (kadang) bersebrangan dengan istrinya sendiri. Tentang kehidupan normal, yang setelah ditelisik ternyata mempunyai makna yang berbeda.

Beliau sengaja mengalirkan ceritanya bak air yang mengalir tenang. Tidak perlu twist berlebihan. Tidak perlu alur maju mundur yang membingungkan. Tidak perlu plot yang rumit. Karena ini menceritakan tentang masyarakat biasa. Bertujuan untuk mengilhami masyarakat, tentang kejadian-kejadian biasa saja. Namun sebetulnya mempunyai beragam nilai yang penting.

Lakon Kucing ini makin nyata dengan penampilan sempurna Butet Kartaredjasa. Disini, dia benar-benar menjadi jawara. Benar-benar menampilkan peformanya sebagai pelakon seni yang utuh. Tokoh Bapak, Ibu, Pak RT hingga si biang kerok utama yakni kucing, mampu dihidupkan dengan sempurna. Meskipun dalam format monolog, namun penonton mampu terbawa penokohan Butet dengan baik. Semua ikut tersenyum, manggut-manggut, bahkan ikut gemas melihat “tingkah laku” si kucing sialan itu.

Selain itu, seperti biasa Butet mampu menyelipkan humor-humor satir yang efektif memancing tawa penonton. Memang, kepiawaian Butet dalam hal ini tidak terbantahkan. Termasuk ketika dia menjelaskan, mengapa “Kucing” dipilih sebagai nama lakon untuk monolog itu. Tentu saja dalam divisi akting Butet tidak bekerja sendirian. Di belakang layar terdapat Whani Darmawan memegang jabatan sutradara. Whani ternyata mampu mengarahkan “bintang besar” seni peran Indonesia tersebut. Hasilnya seperti yang saya bilang tadi, gabungan antara penyutradaraan yang baik dengan peforma akting jempolan. Bagus.

Suasana dan ambience dari keseluruhan di atas juga dipengaruhi oleh tata musik yang mendukung. Tak diragukan lagi, dedikasi Djaduk Ferianto benar-benar ditampilkan di sini. Music-musik yang dipilihnya hingga natural sound yang diraciknya benar-benar member stu gambaran utuh mengenai rumah, konflik dan si kucing itu sendiri.

Singkatnya, drama satu setengah jam ini seakan menjadi kesatuan pelaku seni terbaik, dan menghasilkan sesuatu yang baik pula, meskipun belum bisa dibilang dahsyat. Yang tak kalah menarik di sini adalah sentilan-sentilan kritik pemerintah. Dikomunikasikan dengan bahasa visual yang menarik dan (secara sengaja) ditempatkan di posisi yang tepat. Bahkan bila mendalami keseluruhan isinya, semuanya berujung pada maksud yang sama. Kritik dan rasa sebuah keterpojokan. Seperti kita rakyat jelata yang makin terpojok dengan tuntutan realita. Miris.