Rabu, 25 Juli 2012

Twitter + Indonesia = Hiburan Seru

Twitter semakin menarik. Ibarat film pasti multigenre (@nandabagus, 23 Juli 2012)

Nampaknya platform media soial satu ini semakin melonjak namanya di Indonesia. Semua serba ala twitter. Dulu bahkan ketika facebook mencuat, dampaknya tidak sehebat twitter. Ya gamangnya lihat saja sekarang di media massa, terutama televisi. Semua acara kini memajang nama akun twitter mereka, tidak berhenti di situ, mereka juga memunculkan nama akun twitter para host, bintang tamu, bahkan kru acara tersebut!. Dari situ saja sebenarnya memang sudah kelihata kalau twitter udah dianggap penting bagi banyak kalangan. Atau seakan trending topic adalah segalanya (yeah, I'm talking about Indonesian Idol).

Lalu dimana menariknya? bukan, bukan terus mengikuti akun twitter artis yang suka nongol di televisi yang isinya cuman kata "hai" atau "terima kasih" sama para followernya (diretweet pula). Twitter gak selebar daun kelor, banyak yang bisa dieksplor di sini.

Mau sebuah drama? paling gampang lihat saja akun teman atau kerabat, yang lagi mesra di twitter. Atau yang ceritanya lagi berantem terus salah satu ngetweet (atau meretweet) quote romantis atau tentang hubungan lewat akun anonim. Tentu saja dibubuhi senjata drama mereka : #nomention (padahal ya jelas lagi nyindirnya ke siapa) itu aja? belum, masih banyak, dan mungkin akan berbuntut panjang ketika udah masuk ranah privat atau... DM. Dan drama juga gak melulu masalah cinta-cintaan, banyak, masalah temen, tugas, semua menimbulkan ribuan keluh kesah dan disusun dalam kata-kata apik sebanyak 140 karakter seara berkali-kali. Bagi saya itu drama.

Kurang? thriller? ini juga ada, namun munculnya ketika memang ada kejadian nyata yang sedang mengalami sesuatu yang menegangkan, dan ditweet secara berurutan seperti lagi bercerita. Inget kasus penangkapan palsu oleh polisi yang menyelipkan narkoba ke salah satu korban, lantas si korban "bercerita" lewat akun pribadinya? baca saja secara runtut, dan ercayalah, ada unsur suspense (ketegangan) di dalamnya. Menelisik tweet demi tweet (maaf, istilah kata demi kata rasaya ketinggalan jaman di sini) dan tanpa sadar cerita itu sendiri mebentuk twist di kepala kita dan berakhir dengan opini di mbenak masing-masing. Ada juga dulu yang becerita kalau dirinya melihat pembunuhan (atau penusukan) di KRL ekonomi. Mungkin unsur thrill kayak gini memang banyak terjadi, tapi gak semua orang bisa menuliskannya dengan baik di twitter (serius, pemilihan diksi itu penting). Hanya akun yang memang pintar mengolah kata
(secara wajar tentunya) yang bisa membuat pembaca pensaran, deg-degan dan sebagainya.

Horor? hantu-hantuan? saya sendiri kurang tahu apakah memetwit sekarang ini sudah tidak eksis lagi (soalnya rada jarang juga). Tapi memang ada beberapa akun yang rajin memetwit. Ini juga seru dan kadang kalau ceritanya menarik dan serem bisa bikin merinding juga. Memewit ini biasanya muncul di malam jumat. Pertanyaan saya, ini orang luar apa juga bikin memetwit kayak di Indonesia? atau twiter bagi mereka murni hanyalah sebuah sosial media? kalau iya, banggalah jadi orang Indonesia. We are creatuve people!

Komedi? ah banyak sekali ini mah. Ikutin aja mainan hastag yang kadang dimainin akun tertentu. Atau banyak akun seperti @autocorrects atau @9gag, yang kadang isinya lelucon sarkasme. Atau versi anak muda? banyak noh si ladak ampe pocong (masih lucu gak? udah gak follow lagi soalnya). Pinter-pinter milih orang yang mau difollow aja. Atau ya paling mudah, mungkin ada yang temen yang punya stok tweet lucu dan menghibur? nah itu mungkin masuk komedi.

Dan mungkin hiburan yang paling hot akhir-akhir ini adalah obrolan politik yang kini makin mencuat di twitter. Contoh konkritnya adalah Pilgub DKI ini. Banyak sekali yang bisa dibahas. Dari mulai opini tiap orang terhadap calon-calonnya, praktisi iklan yang geser jadi konsultan cagub (dan membuat saya malas follow dia lagi) sampai obrolan black campaign. Yang seru nih, silakan simak akun @triomacan2000. Yang belum tahu (kemana aja?) akun tersebut isinya mengungkap kebrobokan dunia politik di Indonesia, ya tentang korupsi, skandal politikus-politikus terkenal dan lainnya. Dan dalam tweetnya selalu disertakan data-data yang terlihat meyakinkan. Nah, beberapa hari ini akun macan milenium ini mendapat rivalnya. Di Sini, twitter mulai makin seru.

Sederhana saja rivalnya (beberapa akun seperti @kurawa yang notabene adalah akun pribadi, sedangkan si macan akun anonim karena make nama samaran, gak berani tampil di depan publik) ngetweet bahwa si macan ini bohong dan mengada-ada, dan dia menuliskan beberapa tweet tandingan (dalam hal ini si macan berkoar-koar tentang kebobrokan si Ahok dalam kultwit super panjang dan si kurawa ini juga kultwit tentang ahok namun kontra dengan isi kultwitnya si macan). Dan pada akhirnya banyak yang menduga si macan ini cuman sebuah buzzer yang disewa pihak tertentu untuk menjatuhkan pihak lain. Bermodal jumlah follower yang banyak, memang si macan ini bisa dengan mudahnya membentuk opini publik dengan kultwitnya. Nah mungkin karena banyak juga yang heran dengan akun ini (yang anonim dan gak mau disebutkan pemegang akun aslinya) dan cemas juga karena selalu menimbulkan persepsi negatif ke sosok yang diserang, makanya ada beberapa pihak yang coba "membongkar" si macan ini. Buzzer atau bukan, itu memang masih dugaan, tapi saya amati sih si macan rada kepleset di sini.

Jadi, memang terlihat kalau twitter itu terkadang lebih menghibur daripada media massa lain yang berusaha setengah mati untuk menghibur. Terkadang komentar antar suporter bola di twitter lebih seru disimak daripada pertandingan bolanya. Tapi hiburan itu ada dimana, kitalah yang mencarinya. Dan embel-embel "+ Indonesia" itu semata-mata karena banyak hal di Indonesia yang bisa diangkat di twitter dan (tentu saja) menjadi hiburan seru.

Nah sekarang saya mau nyimak timeline dulu deh, siapa tau ada hiburan.

bye!      

Selasa, 03 Juli 2012

kenalan

Kalau boleh jujur, ada satu hal yang paling membuat saya canggung. Kenalan dengan orang baru.

Hey, it’s nice to know somebody new

Ya, emang sih, tapi ketika hal itu membuat jantung berdegup dua kali lebih kencang, mungkin jawabannya sedikit berbeda. Saya memasukkan sifat saya yang ini dalam kategori weakness untuk slot SWOT saya. Padahal, berkenalan sebenarnya hal yang sederhana. Dengan berkenalan, satu sama lain dapat mengerti identitas masing-masing. Menukar nama, nomor telepon, ngobrol basa-basi biar gak terlalu garing dan sebagainya.

Saya coba merunut apa yang terjadi ketika saya kecil, karena saya masih percaya, semua yang terjadi sekarang ini ada hubungan kuat dengan aspek historis. Dan saya menemukannya.

Sebagai anak ragil, sejak kecil saya seperti dititahkan untuk menjadi anak super penurut. Untuk hal-hal sepele seperti nonton channel tv, berbagi mainan dan sebagainya, walaupun punya kadar ngeyel tapi itu sangat rendah. Selebihnya saya patuh, nurut dan endingnya nrimo. Pun dengan hal baru. Saya boleh mencoba jika kira-kira saya dapat ijin. Dan kebanyakan gak dapet ijin (bahkan ketika makan bareng keluarga besar, saya cuma diperbolehkan pesen teh anget, padahal pengennya sih ini itu). Katanya biar gak sakit flu. Dan itu terjadi untuk hal baru selanjutnya. Semua serba tergantung dengan restu orangtua. Dan ketika tiba masa orangtua “melepaskan” anaknya, seringkali ada rasa takut, tidak pede dan lain sebagainya, terselip di benak sang anak karena tidak mendapat legitimasi dari orang yang menurutnya paling bisa dipercaya. Singkatnya, si anak jadi mudah ragu-ragu. Gampang insecure kalo di jaman sekarang.

Pun dengan saya. Lingkungan baru (termasuk dengan orang-orang di dalamnya) jelas masuk definisi hal-hal baru. Seperti di lingkungan kerja atau kuliah. Saya harus memaksa diri untuk bisa berkenalan dengan orang lain. Mengacuhkan rasa malas, menanggalkan rasa gengsi dan sebaginya. Ada waktu ketika saya tersadar akan hal ini, yakni pas masuk kuliah. Saya berjanji untuk lebih “awor” “gaul” atau istilah-istilah lainnya. Sebenarnya gak ada masalah karena teman kuliah bisa ketemu setiap hari, dan secara naluriah emang harus kenal kan. Tantangannya adalah kesibukan di luar kuliah, orang baru di luar hal akademis. Jadilah saya ikut-ikut UKM. Meski pada tahun pertama saya cuman bisa bengong atau senyum dikit ketika diajak bercanda. Saya juga mencoba-coba mendaftar suatu komunitas, yang sering ada kopdarnya. tapi ternyata juga saya gak pernah dateng kopdarnya.

Sekarang perasaan takut berkenalan dengan orangbaru berubah menjadi perasaan canggung (atau dulu canggung sekarang takut?). Mungkin banyak yang merasakan.Contohnya, terjadi ketika sehabis liputan kemarin, para wartawan berkumpul untuk makan bareng. Pertama rasanya enggan campur males (terlebih dengan adanya sosial media, tempat pelarian paling hip sedunia). Harus ada yang mancing untuk kenalan dulu baru deh rasanya canggungnya mulai lumer. Ketika udah ngobrol padahal juga semuanya biasa aja. Yakin, bukan cuman saya yang ngalamin kayak gini, tapi hal macem ini sudah mencapai taraf mengganggu.
 
Di era yang katanya “IP mah gak usah tinggi-tinggi, yang penting koneksi dimana-mana”, berkenalan dengan orang baru sudah pasti jadi bagian di dalamnya. Dan seakan-akan hal itu sekarang menjadi masalah serius di mata saya. Menaklukan rasa takut dan canggung, meninggalkan rasa malas dan gengsi, tapi memang harus dijalani. 

Kan, cuman masalah kenalan aja bisa nyampah posting segini panjangnyanya, kumat dramanya.

Extremely loud and Incredibly Close: Sejauh mana kamu akan terus mencari? Sejauh mana keberanianmu?


Salah satu pembangun unsur human interest dalam sebuah cerita adalah umur. Tua dan muda, adalah hal yang menarik untuk disimak. Tidak hanya dalam sebuah berita, namun di film. Anak-anak selalu memiliki daya magis tersendiri dalam sebuah penceritaan, begitu juga dengan orang tua. Daya tersendiri dalam menggerakkan sisi emosional dari diri kita. Terlebih bila dihadirkan melalui film drama.

Setelah beberapa bulan yang lalu hati saya “dihangatkan” oleh cerita orang-orang yang berumur senja melalui “Another Year”, kali ini saya kembali “dihangatkan” melalui karakter anak kecil di “Extremely Loud and Incredibly Close”. Jelas, ini bukan pertama kalinya kisah yang lekat dengan “kehebatan” anak-anak divisualisasikan melalui film. Beberapa hadir dengan luar biasa seperti Hugo, August Rush, Children of Heaven dan masih banyak lagi. Film ini juga menyajikan pengalaman menarik, mengharukan dan tentu saja bernilai bagi penontonnya.

Kisah yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Jonathan Safran Foer, berlatar belakang peristiwa 9/11, film ini menceritakan bocah hebat bernama Oskar Schell (Thomas Horn), putera dari Thomas Schell (Tom Hanks) dan Linda Schell (Sandra Bullock). Oskar, merupakan anak yang tidak biasa. Ia adalah anak yang selalu penasaran, teliti dan gigih. Tapi dirinya memiliki satu kekurangan keberanian dalam hal benda-benda yang dianggapnya berbahaya dan beresiko. Semuanya bertambah buruk ketika ayahnya menjadi korban peristiwa 9/11.  Oskar menjadi penakut terlebih dengan benda yang bergerak.
Setahun setelah kematian ayahnya, Oskar tek sengaja menemukan kunci dengan label black di wadahnya. Mendapati itu sebuah tanda dari ayahnya, Oskar kemudian mencari tahu ada apa di balik kunci itu. Gembok seperti apa yang bisa dibuka dari kunci itu dan apa isinya. Siapa tahu dengan mencari tahu ada apa di balik gembok, dia bisa mendapati – 8 menit bersama ayahnya-. Dan nyatanya, yang ia temukan lebih dari 8 menit bersama ayahnya. Lebih dari itu.

Film ini mengajarkan tentang keberanian, kegigihan serta makna keyakinan tampa harus menggurui. Adegan tiap adegan mengalir dengan maknanya masing-masing, tanpa memberi bentuk wejangan ala Mario Teguh (eh, masih eksis kan dia?). semuanya tersampul rapi dalam balutan adegan berdurasi 2 jam ini. Memang cukup panjang, tapi tidak akan sia-sia. Dengan alur bolak-balik, film ini mampu menghadirkan seluruh kisahnya dengan komplit, tanpa tanda tanya dibelakangnya.

Dukungan Tom Hanks sebagai ayah yang baik dan dekat dengan anak semata wayang tidak sia-sia. Begitu juga dengan Sandra Bullock, perannya sebagai istri sekaligus ibu yang rapuh (tapi harus tegar) juga pas, tidak berlebihan, malah justru menarik simpati. Tapi harus diakui, yang paling brilian adalah Thomas Horn, aktingnya memang juara. Ekspresi keyakinannya, ketakutan, kebingungan ditampilkan apik. Meski saya bukan expert masalah film atau kritikus film kelas wahid, tapi kehadiran Thomas ini sangat vital dalam membangun cerita.

Tentu saja, Thomas disini juga didukung oleh arahan sutradara Steven Daldry Dan naskah yang cemerlang dari Eric Roth kata-kata yang indah namun terasa lugas, mengalir lancar dari ucapan Oskar. Pun dengan jalan ceritanya. Alih-alih membahas peristiwa 9/11, sutradara Daldry malah mengisahkan peristiwa keluarga kecil dibalik serangan itu. Walaupun, ya menurut saya penyeleseiannya masih kurang berasa nendang, dan ada beberapa bagian yang sebenarnya tidak perlu disampaikan, secara keseluruhan ini film drama keluarga yang bagus.

Assembling your emotion yet motivate us to not stop looking. Brillian.