Kalau boleh jujur, ada satu hal yang paling membuat saya canggung.
Kenalan dengan orang baru.
Hey, it’s nice to know
somebody new
Ya, emang sih, tapi ketika hal itu membuat jantung berdegup dua kali
lebih kencang, mungkin jawabannya sedikit berbeda. Saya memasukkan sifat saya
yang ini dalam kategori weakness untuk slot SWOT saya. Padahal, berkenalan
sebenarnya hal yang sederhana. Dengan berkenalan, satu sama lain dapat mengerti
identitas masing-masing. Menukar nama, nomor telepon, ngobrol basa-basi biar
gak terlalu garing dan sebagainya.
Saya coba merunut apa yang terjadi ketika saya kecil, karena saya
masih percaya, semua yang terjadi sekarang ini ada hubungan kuat dengan aspek
historis. Dan saya menemukannya.
Sebagai anak ragil, sejak
kecil saya seperti dititahkan untuk menjadi anak super penurut. Untuk hal-hal
sepele seperti nonton channel tv, berbagi mainan dan sebagainya, walaupun punya
kadar ngeyel tapi itu sangat rendah.
Selebihnya saya patuh, nurut dan endingnya nrimo.
Pun dengan hal baru. Saya boleh mencoba jika kira-kira saya dapat ijin. Dan
kebanyakan gak dapet ijin (bahkan ketika makan bareng keluarga besar, saya cuma
diperbolehkan pesen teh anget, padahal pengennya sih ini itu). Katanya biar gak
sakit flu. Dan itu terjadi untuk hal baru selanjutnya. Semua serba tergantung
dengan restu orangtua. Dan ketika tiba masa orangtua “melepaskan” anaknya,
seringkali ada rasa takut, tidak pede dan lain sebagainya, terselip di benak
sang anak karena tidak mendapat legitimasi dari orang yang menurutnya paling
bisa dipercaya. Singkatnya, si anak jadi mudah ragu-ragu. Gampang insecure kalo di jaman sekarang.
Pun dengan saya. Lingkungan baru (termasuk dengan orang-orang di
dalamnya) jelas masuk definisi hal-hal baru. Seperti di lingkungan kerja atau
kuliah. Saya harus memaksa diri untuk bisa berkenalan dengan orang lain.
Mengacuhkan rasa malas, menanggalkan rasa gengsi dan sebaginya. Ada waktu
ketika saya tersadar akan hal ini, yakni pas masuk kuliah. Saya berjanji untuk
lebih “awor” “gaul” atau istilah-istilah lainnya. Sebenarnya gak ada masalah
karena teman kuliah bisa ketemu setiap hari, dan secara naluriah emang harus
kenal kan. Tantangannya adalah kesibukan di luar kuliah, orang baru di luar hal
akademis. Jadilah saya ikut-ikut UKM. Meski pada tahun pertama saya cuman bisa
bengong atau senyum dikit ketika diajak bercanda. Saya juga mencoba-coba
mendaftar suatu komunitas, yang sering ada kopdarnya. tapi ternyata juga saya
gak pernah dateng kopdarnya.
Sekarang perasaan takut berkenalan dengan orangbaru berubah menjadi
perasaan canggung (atau dulu canggung sekarang takut?). Mungkin banyak yang
merasakan.Contohnya, terjadi ketika sehabis liputan kemarin, para wartawan
berkumpul untuk makan bareng. Pertama rasanya enggan campur males (terlebih
dengan adanya sosial media, tempat pelarian paling hip sedunia). Harus ada yang
mancing untuk kenalan dulu baru deh rasanya canggungnya mulai lumer. Ketika
udah ngobrol padahal juga semuanya biasa aja. Yakin, bukan cuman saya yang
ngalamin kayak gini, tapi hal macem ini sudah mencapai taraf mengganggu.
Di era yang katanya “IP mah gak usah tinggi-tinggi, yang penting
koneksi dimana-mana”, berkenalan dengan orang baru sudah pasti jadi bagian di
dalamnya. Dan seakan-akan hal itu sekarang menjadi masalah serius di mata saya.
Menaklukan rasa takut dan canggung, meninggalkan rasa malas dan gengsi, tapi
memang harus dijalani.
Kan, cuman masalah kenalan aja bisa nyampah posting segini
panjangnyanya, kumat dramanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar