Jumat, 26 Oktober 2012

Dapur dan Si Sexy

Kemarin malam, saya tergelitik untuk sedikit beradu argumen dengan salah satu akun informasi kota solo di twitter. Si admin mengatakan (via twitter) kalau dia suka cewek yang bisa masak, karena cewek yang bisa masak dianggapnya seksi. Saya setuju dengan cewek masak itu seksi. Lalu dia melanjutkan perihal keseksian cewek dengan masak dengan studi kasus seorang Farah Quinn. Oke, Farah Quinn ya, tanpa dia harus repot-repot masakpun, secara fisik dulu deh, dia sudah masuk kriteria seksi untuk ukuran televisi Indonesia. Kulit eksotis, cara bicara yang ditata sedemikian rupa, dan yah, like you know, it her's sex appeal which comes out in the same level with Jupe's. 

Lalu saya "sedikit protes" dengan meluncurkan pertanyaan, lalu bagaimana dengan ibu Sisca Soewitomo? yang sedari saya kecil rajin berada di kitchen set studio Indosiar. Untuk urusan masak, ibu satu itu sudah tidak bisa diragukan lagi kemampuannya di bidang masak memasak. 

Kamudian si admin menjawab dengan penuh diplomatis, "bagi saya dua-duanya seksi"

Kalau atribut seksinya hanya melalui "kebisaan masak" dua-duanya seksi. Namun penempatan Farah Quinn sebagai studi kasus pertama tentang hubungan "masak itu seksi" jelas punya makna yang berbeda. Bisa jadi dua-duanya seksi, namun satu dengan yang lain punya interpretasi yang berbeda. Bu Sisca murni dengan keahlian masaknya, namun ketika melihat Farah Quinn? tanpa melihat dia masak, orang dengan mudah menempelkan atribut seksi ke ibu muda yang akhir-akhir ini kok semakin jarang pake kaos ketat itu :( (heh!)

Bisa dibilang, sekarang, semua yang berhubungan dengan dapur, sedang naik daun. Tidak seperti dulu yang urusan dapur murni urusan ibu-ibu (walaupun dari dulu juga chef kondang di dunia hampir selalu ada di tangan seorang lelaki), sekarang para pemuda-pemudi juga sudah mulai menggiati dunia kuliner ini. Perkembangan memang tidak bisa dihindari, pun juga dengan perubahan pasar (its all about the market things, rite?). 

Selain memang demand yang semakin banyak karena kemunculan hotel-hotel yang menjamur, imej chef saat ini juga tak bisa lepas dari konstruksi media massa. Maska itu bukan pekerjaan rumahan yang kolot, masak itu sesuatu yang fun. 

Sederhana saja, selain acara "Selera Nusantara" di MNC TV (yang entah kenapa malah banyak plesir ke luar negerinya) acara masak mana yang masih dipandu oleh ibu-ibu? sekarang semua serba muda, bahkan ada istilah selebchef (yang saya tidak tahu artinya itu apa). Untuk host cewek bisa dipastikan semua muda, cantik dan memenuhi semua konsep seksi yang kekinian (tau chef Winnie? cba googling kalau gak tau). Bisa jadi, ini merupakan strategi media, supaya acara masak-memasak tidak hanya ditonton oleh kaum hawa. Melebarkan segmentasi pasar.
 
Bosan? khusus untuk ibu-ibu, ibu muda atau mbak-mbak yang belajar masak, sekarang juga banyak acara masak dipandu dengan chef-chef ganteng. Sekali lagi, itu usaha media, mendapat perhatian kaum hawa untuk lebih konsen (entah ke masakan apa ke yang masak) ke acaranya. Karenanya, gak sedikit yang bilang, cowok bisa masak itu seksi. 

Dapur dan seksi, pada akhirnya hanyalah dua hal berbeda yang kini berhubungan satu sama lain. Seksi bagi saya hanyalah sebuah konsep dan imaji belaka dan bisa dibentuk semau-mau kita. Sedangkan dapur (dan urusan di dalamnya) merupakan skill, keahlian, ketekunan dan sebagainya. Toh pada akhirnya, mau seksi atau tidak, yang terpenting adalah masakannya dimana urusannya bukan lagi "seksi atau gak seksi" tapi "enak atau gak enak".

  
 

Selasa, 23 Oktober 2012

Here it comes, The Jungle!

So here I am, fresh graduate universitas terkemuka di kota saya sendiri (kalau Indonesia kayaknya belum, tapi katanya menuju puncak gemilang cahaya bersama Akademi fantasi sih) kini sedang dalam fase menjadi seorang Jobseeker. Apakah cuma saya sendiri? oh tentu tidak, banyak (banget) di luar sana punya titel baru ini. Dalam seketika, euforia enaknya jadi sarjana menguap sudah.

Istilah "Tuhan memang suka bercanda" ternyata benar. Saya merasakan Tuhan sedang sedikit bercanda dengan saya ketika melihat ratusan orang ngantre masuk sebuah ruangan besar (dan antreannya hampir melingkari separuh gedung itu sendiri) untuk memasuki perhelatan akbar disebut: "Jobfair".

Memang bukan kali pertama ke jobfair, tapi ini yang paling masif. Mau tidak mau, saya ikut berubah menjadi pasukan cendol manusia yang terus merangsek ke dalam ruangan. Banyak yang udah rapi, wangi, bersih, oke (untuk beberapa kasus banyak yang dress up sedemikian rupa) dan ketika masuk ruangan semuanya luntur. Saya sudah tidak bisa memperdulikan lagi siapa saja disana, siapa yang cakep, siapa yang jahil nyolek pantat orang (if you the one who did this, please, bertobatlah).

Dan ketika di tengah keramaian gila itu, saya berpikir satu hal: THIS IS THE JUNGLE.

Semuanya macam singa kelaparan yang rebutan daging di setiap booth perusahaan. Saya adalah salah satunya. Ikutan mengantri, sambil sesekali menelap peluh, ribet dengan berkas sendiri, dari satu booth ke booth lainnya, belum termasuk kalo perusahaan rada rese dengan langsung ngasih tes, hari itu juga, di luar area jobfair (di sini kampus UGM) yang jauhnya amit-amit (true story). But hey, that was the point. This kind of jungle, what's you expect? If you want the job, do the job.

Dan akhirnya saya hanya apply 5 perusahaan (dari 51 perusahaan yang pamer lowongan hari itu), dua diantara sudah tes dan ternyata tidak lolos. Haha, not my luck, or they just had their great loss (pede itu perlu). It is not easy as I thought. 

Jadi kalo ada yang ngeluh "I hate Monday" karena kudu masuk kerja lagi, mending resign aja gih. Tukeran sama saya. Itu aja sih.