Sabtu, 08 Juni 2013

Happy For Being a Shorty

Pendek? sama.
lah...

Entah mulai kapan tepatnya, sekarang mulai banyak iklan-iklan susu yang dengan gamblang bilang dapat menambah tinggi badan dengan cepat sekejap. Jauh sebelumnya sebenernya juga udah ada sih alat atau produk peninggi badan yang demen banget nongol di TV. Orang lama pasti inget Zenith Grow? atau paling enggak, pernah liat alat-alat yang bisa narik-narik badan biar tambah tinggi gitu. Buat saya sebagai orang dengan tinggi ngepas, tentulah itu semua menarik dimata. Tinggi adalah sebuah harapan.

Hidup dengan tinggi ngepas pendeknya dulu bagi saya susah-susah gampang. Iya, banyakan susahnya ketimbang gampangnya. Ini akibat kurang bersyukur aja sebenarnya. SD - SMP mungkin belom begitu keliatan, pas SMA mulailah kelihatan dan makin menjadi pas kuliah. Ada pikiran "lah, kok gue pertumbuhannya mandeg di segini aja?" Gampangnya? kamu bisa selonjoran dimana-mana dengan mudah (bahkan di atas motor matik sekalipun :D )

Iri? oh jangan ditanya. Pemikiran tinggi lebih keren masih kuat di benak saya kala itu. Apalagi waktu masih muda dulu ( sekarang masih muda, tapi tuaan dikit). Ditambah dengan konstruksi media dan stigma kebanyakan yang mengatakan kalau tubuh tinggi itu menambah tingkat kekecean sebanyak 760 poin. Pendek? siap-siap deh dibully. Bogel, cebol, bantet dan sebagainya, itu udah makanan sehari-hari.

Apalagi lihat iklan sekarang. Mulai dari susu berkalsium tinggi gampangnya. Apa yang dijual bukan si kalsium yang menguatkan tulang dan sebagainya, namun bisa nambah tinggi. Nggak salah memang, tapi visualnya juga sebetulnya bisa dibilang menyakitkan, karena mendiskreditkan si pendek. Memang sasaran untuk yang lagi tumbuh, tapi kalo genetik gimana? You just can't judge people by their height, in it happens in some TVCs.

Pinter-pinter atur emosi saja.

And then, time flies, I've grown up dan akhirnya saya menerima dan bersyukur dengan apa yang saya punya. Sampai saat ini, saya belum pernah juga menyentuh obat atau susu atau alat-alat peninggi badan. Keluarga saya bukan keluarag yang bertumbuh tinggi. Semuanya ngepas. Masalah tinggi ngaruh ke kerjaanlah, jodohlah, ah I don't really care. Yakin semua ada jatahnya. Setelah dipikir-pikir konyol sih kalo ada yang stress gara-gara gak bisa tinggi atau pendek. Know what you doing, and do what you have to do, is way way way more important. Itu cara sederhana buat mensyukuri hidup, kalo malu-malu sama yang di atas.

So, happy for being a shorty? yeah, why not?

Kamis, 02 Mei 2013

Posesigh...

Okay, it could be the personal one..

Berbicara mengenai keburukan diri sendiri itu sulit. Ada sebuah penyangkalan yang menggebu, ketika satu keburukan ingin dilontarkan. Yang harusnya sangat buruk, diminimaliskan ketika sampai di ujung bibir. Pun saya sendiri.
Kalau diberi waktu lima detik untuk mengatakan keburukan saya apa, saya akan diam. Bingung. kenapa? sederhana saja, saya tidak punya referensi. Sifat denial atau penyangkalan, itu ada, dan semakin membesar ketika tiba dalam pembahasan yang sensitif dan serius. Ada rasa pembenaran di setiap penyangkalan saya. Sampai disini saya tanya, apakah ini termasuk dalam salah satu kelemahan saya?
Metode paling mudah untuk mengurai apa yang ada dalam diri saya yakni melalui orang lain. Kaca adalah hal yang paling jujur di muka bumi ini. Dan orang lain adalah kaca, yang hidup bisa ngomong dan nyata.
Singkat cerita, apa kata "kaca" yang hidup itu?
Saya adalah seorang yang posesif.

Setidaknya itu kata teman saya dan belakangan ini saya mengangguk setuju dengan mereka. Mengapa kok saya sebegitunya posesif. Bahkan mengarah ke pencemburu, dalam hal ini untuk sesuatu yang sebenarnya tidak mutlak saya miliki. Hati saya sudah berteriak, untuk melakukan pembelaan dan pembenaran atas semua ke-posesifan yang terjadi, namun saya bungkam dan memilih untuk tidak menyuarakannya, di sini. Karena pada akhirnya saya adalah manusia yang posesif.

Ya, posesif. Sigh...



Senin, 22 April 2013

Motivaception

Ketika mendengar motivasi, hal apa sih yang pertama kali kepikiran? mungkin sebagian besar akan berpaling pada Mario Teguh atau Merry Riana. Gak salah karena dua nama itu lekat dengan kata motivasi, simply because they are well known motivator. Atau kemudian anda melayang pada satu quote yang berbunyi "Best motivator is our self" ?
Tapi sejauh mana diri anda dapat memotivasi diri sendiri?
Pada nyatanya, self motivate itu ~ setidaknya mneurut saya~ adalah hal yang sulit dilakukan. Sama persis ketika kita ditanya mengenai kelemahan atau kelebihan. Berapa banyak dari anda yang bisa menjawabnya ~ dengan mantap~ dalam waktu satu menit. Kalaupun ada, anda pasti sangat hebat.
Padahal, jika kita mau mengenal lebih jauh pada diri sendiri, kita bisa jadi motivator handal... untuik orang lain. Ketika ada teman, saudara atay kerabat menemukan masalah, kita bisa memberi pandangan, motivasi, semangat dan sebagainya. We are the best motivator for anyone else. Namun ketika dihadapkan perkara diri sendiri, kita jadi mlempem. Kemana perginya semua nasihat atau kalimat-kalimat motivasi yang kita lontarkan dengan lancar kepada orang lain. Entah, apakah kita memang tidak ingat, atau snegaja tidak mengingatnya, kita mnejadi manusia lemah. Jadi nggak heran, Mario Teguh ratingnya tinggi, buku "Mimpi Sejuta Dollar"nya Merry Riana jadi best seller. We need a "slap" straight to our faces.
Kemarin saya beli bukunya Yoris berjudul Oh My Goodness (OMG) yang updated version. Menurut hemat saya, ini juga masuk buku motivasi, namun melalui pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang beda karena tujuan buku ini lebih ke bagaimana mengasah kreatifitas pada diri individu. Saya, sudah mencapai tahapan diamana saya sudah insecure dengan kreatifitas diri sendiri. Repetisi yang saya alami, mejadi faktor utama semua itu. Saya butuh.... pencerahan.
Saya jarang sekali baca buku motivasi, sehingga membaca OMG tidak bisa saya habiskan dalam satu baca. Saya baca per bab. Yang saya heran adalah, apa yang dituliskan Yoris ini, adalah hal yang sebenarnya BIASA terjadi. Yah sebenarnya bisa saja terjadi di dalam diri kita. Namun, percayalah, kita hidup diluar kebiasaan itu, sheingga kita melewatkannya.
Bagi saya, buku ini lebih ke mengingatkan, bahwa kita sebenarnya "bisa". Mungkin buku motivasi lain juga akan berkata demikian. Akhirnya, ketika setelah membaca, keputusan ada di diri kita. Saya misalnya, baru baca beberapa bab di buku OMG, langusng ke Togamas hanya untuk membeli sebuah sketchbook. Saya ingin kembali menggambar, hal yang sudah jarang sekali saya lakukan di beberapa tahun terakhir. Dan rasanya lega, bisa kembali menggambar lagi, meski skill menggambar menurun drastis karena memang jarang diasah.
And that's how motivation works
Meskipun tidak serta merta langsung memberi efek pada sebuah perbuatan, motivasi membuat anda berpikir ulang dan berkata "Oh, iya ya". Setidaknya itu yang terjadi pada diri saya. Dan ketika sudah dalam tahap paling serius,motivasi membawa ke perihal paling serius, self acceptance.Karena kita butuh "cermin" yang luas, untuk bisa mengenal diri kita lebih jauh.
Mulai sekarang, saya tidak lagi antipati terhadap hal-hal yang berbau motivasi. Saya melihat, bahwa makin kesini, makin banyak orang yang less motivated. Dan menurut saya itu bukan perkara sepele. Tingkat stres yang tinggi, disambung ketidakpercayaan diri dan itu bahaya. Setiap orang memiliki pilihan, mengenai dimana dia mencari motivasinya ~ sambil mungkin secara tidak sadar memotivasi yang lain~

Pun saya sendiri, namun tidak pada Mario Teguh.
   




  


Senin, 04 Maret 2013

Television : Why'd You Keep Portrayed Hajj As a Bad Things :"(

Turn off your TV and go get your real life.

Akhir-akhir ini, hal semacam "matikan TV" atau "stop nonton TV" terus berdengung melalui sajak, lagu, puisi, prosa, essay dan banyak lagi. Sebelum nantinya post ini menyerukan hal yang sama, mari kita mulai dengan pertanyaan, kenapa?

Banyak jawaban yang bisa diterangkan melalui pertanyaan "kenapa" tersebut. Mungkin terlalu panjang bila dituliskan dalam satu postingan. tapi kalau boleh saya mengambil satu poin saja, mungkin perhatian saya tertuju pada permasalahan "how they portrayed things in TV shows". Ya, penggambaran, penokohan, penyajian, menjadi salah satu hal yang pada akhirnya membuat muak para pemirsanya sendiri. Masaah ini kemudian bisa diikuti oleh faktor-faktor lain seperti unsur edukasi dan lain sebagainya.

Baiklah, langsung saja saya contohkan. Ingat dengan haji Sulam juragan bubur ayam yang hits banget itu. Kalau kenal dan pernah nonton maka sudah pasti juga kenal dengan Muhidin, seorang "pak haji" yang disetting sebagai rivalnya. Dari awal saya tidak setuju dengan penokohan si Muhidin, meskpun porsinya dibuat cukup seimbang antara si baik dan si buruk. Sebenarnya untuk ukuran sinetron, Tukang Bubur Naik haji ini selangkah lebih maju dalam mempermainkan emosi karakter. Haji Sulam tidak digambarkan sebagai seorang yang paling bak, sesekali dirinya emosi dan bisa naik darah.

Oke, saya cabut kata-kata saya tetang selangkah lebih maju. Saya baru tersadar, kalau protagonis di sini bukanlah makhluk sempurna, si antagonis di sini terlalu sempurnya untuk menjadi seseorang yang jahat. Muhidin digambarkan sebagai seorang yang nyaris tidak memiliki sisi baik. Padahal, sekali lagi, dirinya ditokohkan sebagai seorang Haji. Ini cukup serius karena label haji di dalam masyarakat luas, dipandang sebagai label yang dapat memberi contoh baik. Sedangkan satu ini, kontradiktif... sekali.

Ternyata tidak berhenti Muhidin. tadi, secara tidak sengaja saya melihat sinetron lain yang sama-sama menggunakan atribut "hajjah" di dalamnya. Dalam scene tersebut, seorang ibu yang kesusahan, memohon kepada seorang "bu hajjah" perihal masalah hutang piutang. Saya tidak hafal dialognya (yakali mau ngafalin) namun yang saya tangakap (dengan mudahnya), si bu hajjah ini rentenir sejati yang liciknya gak sopan. Alih-alih memberi senyum hangat, justru devil smirk dipertontonkan dengan lugas dalam perannya sebagai ibu hajjah. It makes me sick.

It is how you portrayed the good things?

Percayalah, label haji itu bukan mainan. ilmu agama saya memang masih cetek, tapi saya tahu betul haji itu perjalanan yang kudus, suci dan penuh arti. Saya jadi ingat film "Le Grand Voyage" my all time fave movie. Dalam film tersebut, Haji bukan hanya berhenti dalam label saja, namun sebuah proses. Proses perjalanan yang emosional yang menguras tenaga, hat dan pikiran. Bagaiman bisa pendekatan tentang haji yang sedemikian hebatnya dijungkirbalikkan menjadi seperti apa yang terjadi di televisi Indonesia.

Kelas menengah bisa saja mengelak dari tontonan macam ini. Namun sialnya, berapa persen sih jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia. Memang tayangan seperti ini targetnya kelas menengah bawah. Dan itu cilakanya. Dengan bekal pendidikan yang terbatas, masyarakat bisa saja langsungs mencerna apa yang disajikan di dalam TV begitu saja. Mereka lebih suka nonton sinetron beratus-ratus episode ketimbang membaca hasil jurnal ilmiah mengenai apa yang mereka tonton. Mungkin ini cuma ketakutan saya, penilaian orang tentang haji sendiri bisa saja berubah. Yang baik jadi tidak baik dan sebagainya. Cepat atau lambat, bila tidak ada perubahan, ini bisa saja terjadi. Menyedihkan.



 


Mata Tertutup: Menyusuri yang kasat mata

Saya orang yang percaya bahwa ada banyak hal yang tersembunyi, misterius dan berada dalam koridor "underground" yang bisa terjadi di sekitar kita. Siapa yang sangka, salah satu warga desa di daerah Mojosongo, Solo, adalah buron teroris. Atau mungkin, siapa yang bisa menyangka, seorang tetangga bisa mempunyai dendam kesumat dan membalaskan dendamnya dengan membunuh dan menyemen anaknya.

Keyakinan itu bertambah melalui ilustrasi film.

Siapa sangka, orang supir dan kenek angkot langganan kita seorang calon teroris? siapa yang sangka, seorang aktivis wanita yang cantik ternyata menjadi lelakon penting dalam sebuah perencanaan besar dalam pembentukan negara baru-yang radikal. Siapa sangka, di belakang kesadaran kita, ada segerombolan orang, yang meniti visi misinya yang mengancam keamanan negara?

Setelah setahun lebih penantian, akhirnya saya berkesempatan untuk menyaksikan salah satu film terpenting yang pernah dibuat. Mata tertutup. Film ini berkisah tentang gerakan radikal yang merayap, menggerayangi negara Indonesia, yang dirangkai dalam tiga sudut pandang sekaligus. Adalah Rima, seorang gadis dlam pencarian identitasnya, dan memutuskan untuk melibatkan diri dalam NII. Kemudian cerita seorang Jabir, pemuda yang terpaksa di drop out dari pesantren karena masalah biaya. Lalu Asimah, seorang Ibu yang galau, mencari keberadaan Aini, anaknya yang menghilang-menjadi korban kelompok Islam fudamentalis. 

Meskipun banyak ayat-ayat Al Quran bertebaran di film ini, namun saya tidak bisa memasukkannya sebagai film religi. Entahlah, saya justru memasukkan film ini ke drama keluarga dengan sentuhan thriller. Film arahan Garin (dan menjadi film yang paling mudah dicerna buat saya) ini sejatinya adalah satu petunjuk, bahwa ada "sesuatu" yang terjadi di sekitar kita tanpa kita sadari.

Saya tidak mau membahas terlalu banyak mengenai teknis, selain karena sudah rada telat, sudah banyak review bertebaran di dunia maya. Singkatnya memang, production value dalam film ini tentunya kelas A, sesuai dengan standar film Garin. Namun ide tentang apa yang mau disampakan dalam film ini, menurut saya brilian. Gerakan Negara Islam Indonesia, atau NII, nyatanya jauh terus berkembang hingga saat ini. Mengorek dan membelokkan pemikiran krtis mahasiswa-mahasiswa. Semua itu justru luput dari perhatian pemerintah atau bahkan presiden yang sepertinya lebih tertarik untuk berprahara ria dengan partainya sendiri. Padahal bila dirunut efeknya, sebenarnya kita patut waspada dengan gerakan seperti ini, karena menyasar hal yang paling fundamental pada seorang warga negara. 

Ini film penting. Membuat kita kritis dan lebih peka. Mungkin bisa saja dibilang edukatif. Dan mungkin bisa saja, film ini menjadi semacam tools untuk early warning kepada para dewasa muda yang masih labil. Mata tertutup sebetulnya mampu menjadi gambaran akan sebuah sebab dan akibat, meski tidak semuanya dapat dijelaskan secara ekplisit. Mungkin ide bagus bila film ini menjadi film yang wajib diputar ketika masa ospek. Anggap saja, jadi bekal bagi para penerus bangsa yang sekarang terkantuk-kantuk di meja ruang kelas.

Kamis, 14 Februari 2013

Bad Review : Zeppelin

Cafe atau tempat makan keren akan turun tingkat kekerenannya sebanyak 74.89 poin kalau servicenya gak oke. Ini yang terjadi pada saya. Saya dan teman saya, sebagai anak gaul Solo yang hobi coba tempat baru, tertarik dengan salah satu kafe baru di Jl. Imam Bonjol (sebelah Mamoth atau jalan yang ke arah hotel Sahid Kusuma Prince) bertitel Zeppelin. Karena baru, saya memang tidak mematok ekspektasi apapun dan tidak berbekal review orang kebanyakan. jadi ya nothing to lose (selain rada deg-degan untuk masalah harga, maklum ya pengangguran banyak gaya).

Pertama masuk ke Zeppelin, everything looks promising. Desain interiornya juara. Banyak ornamen unik kayak tiang-tiang lampu, sampai tiruan balon udara di lantai 2. Sayang, karena penuh, saya dan temen saya cuman dapet tempat duduk yang "minggir". Oiya, peletakan miror segede gaban di ruangan ini berhasil mengecohkan pandangan tapi efektif karena kerasa lapangnya padahal mah ya gak gede-gede amat.
Jadi bagaimana dengan menunya? karena saya sudah makan dan status rada kuyup kehujanan, saya pesen yang simpel aja. Secangkir Chocolate Caramel. Sedangkan teman saya pesan Chocolate Blend dan Caesar Salad.

Nah disini mulai kerasa aneh.

Teman saya menanyakan perihal apa itu Caesar Salad. Penjelasan dari waiternya sebenarnya urang memuaskan. Dia hanya menjelaskan kalau menu tersebut intinya adalah salad dengan irisan beef (mungkin maksudnya beef bacon). Dari cara menjelaskan saya bisa paham kalau waiternya ini kurang memahami.

oke, tiga menu sudah dipesan.
Dan tidak kunjung datang.

Perasaan saya makin gak enak pas saya denger meja sebelah mulai emosi karena pesanan tak kunjung datang. Bahkan sampai beri ultimatum kalau 15 menit gak nyampe bakal dia tinggal. Water datang dan coba minta maaf, dan muncul juga seorang mbak-mbak (kayaknya owner) yang juga berapologi pada dua customer tersebut.

And it happened on us.

30 menit pertama, belum ada satu menu tersaji di meja. bahkan untuk beverages sekalipun. Sepuluh menit kemudian, barulah datang pesanan teman saya (itu pake acara salah anter menu). Sekitar sepuluh menitan barulah datang minuman saya. Damn, it takes 45 minutes to make a just-okay-chocolate-caramel. Parah.

Belum berhenti di situ sodara-sodara.

Setelah nunggu lagi (15 menit dan itupun setelah protes kok lama banget) barulah datang "caesar salad". Setelah "diobok-obok", teman saya berujar "loh, kok ga ada beefnya". Another "something wrong" in in da house yo. Langsung saya mnta dpanggilin ownernya langsung dan menanyakan kalo Caesar salad itu isinya apa. Dan apa yang dihadapan teman saya sesuai dengan apa yang diucapkan ownernya. Ini berarti penjelasan waiter tadi ada yang keliru. Untungnya, pihak Zeppelin masih tau unggah ungguh, ada compliment (yah walaupun cuma irisan ayam sebagai tambahan salad). Tapi kita kecewa.

Awalnya memang terbuai dengan desainnya yang lucu dan menarik. Tapi pelayanan meruntuhkan semuanya. Mumpung masih baru, coba benahi dulu manajemen pelayanannya. Gak ngerti banget tentang hospitality, cuman SDM Zeppelin harusnya lebih kontrol lagi mengenai ini. Saya bukan merekomendasikan untuk tidak usah datang, tidak, bukan seperti itu. Saya gak tau, mungkin kemarin hari pertama mereka buka, jadi sedikit panik atau gimana ketika tamu lagi penuh. Kalau itu benar, maka harusnya mereka dapet pelajaran banyak dari "trial opening" malam itu. Harga yang dibayar tidak sesuai dengan pelayanan yang kami dapat.

Siapa tau ada pihak Zeppelin yang baca ini (ada yang tau akun twitternya gak sik?), jadi bisa dijadikan masukan penting. Soalnya ya kalo tempat kece pelayanan embuh ya sama aja embuh. Sekian dari saya dan terima bingkisan kaastangel (iye, lebaran masih lama, tapi doyan banget sama kue ini).






Rabu, 30 Januari 2013

Hey Ho, Let's Go!

Waktu ternyata seperti peluru ya. Melesat tanpa sempat disadari. And its end of January anyway.

And the saddest part of it is I still couldn't move on from this city. Berkata berulang kali kalau ingin segera bergerak dari Solo. Terdengar begitu dangkal dan seringkali naif. Tapi percayalah, berdiam diri menuju seperempat abad di satu kota akan membuatmu terlalu nyaman. Ketika kamu terlalu nyaman, maka fokus adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan.

Setidaknya itu yang saya katakan ke diri sendiri. Berulang kali.
I think, it's time to move.