Selasa, 27 Oktober 2009

Tidak Rugi Menikmati Hidup yang Cuma Sekali

Sudah berbulan-bulan aku tidak menulis jurnal. Ya, tentunya ada beberapa alas an mendasar, yang sepertinya tidak perlu diceritakan di sini. Terlalu panjang dan aku pikir hal itu sudah tidak terlalu penting. Yang penting sekarang adalah capaianku sekarang. Apa yang berhasil dan belum berhsil kucapai hingga sekarang.

Dulu, katakanlah sewaktu masih di SMA hingga kuliah di semester awal, aku selalu kesulitan dalam mengelola semangat hidup. Sulit berpikir positif dan kurang memperhatikan arti percaya diri. Beruntung sekarang, Allah melalui media-medianya sama sekali unpredictable sedikit demi sedikit aku bisa mengatasi negatifku. Memang belum mencakup semua, masih ada hal-hal yang “besar”yang harus diperbaiki, harus dibenahi sebelum semuanya terlambat.


Mungkin kalau aku bisa bilang, pengalaman-perjalanan-sekaligus peristiwa terhebat di tahun ini adalah masa magang di Joglosemar. Alihkan ilmu dunia jurnalistik yang didapat, itu memang sudah satu paket di dalamnya, sehingga mungkin percuma membicarakannya. hal yang ingin aku rasakan di sini adalah “dunia” yang sama sekali jauh dari perkiraanku sebelumnya (tentunya masih dalam ranah peliputan jurnalistik).

Masa magang adalah masa yang berbeda menurutku. Berada di sekitar orang-orang yang (menurutku) hebat mempengaruhi kinerja otak ini dalam melihat hidup. Sebelum masa magang, jujur aku masih sangat kekanak-kanakan, namun pada masa magang, aku bisa melihat suatu idealisme hidup, komitmen, persahabatan sekaligus kesempatan emas yang bertabur dimana-mana.

Tidak tahu kenapa, aku menjadi semakin mantap dalam menjalani hidup. Walaupun masih ada kekurangan yang hingga saat ini belum dapat aku benahi, at least aku merasa lebih positif dalam menjalani hidup. Aku menata pikiranku sesederhana mungkin. Life is simple, kalimat yang aku dapat dari sebuah blog. Sangat menginspirasiku. Semua bias serba mudah, tergantung bagaimana kita memanajemen semuanya. Sekalipun dalam keadaan sulit, aku tetap berpegang teguh pada keyakinan. God is always online (Tuhan akan selalu online). Kalimat lain (yang hebat) yang aku dapat dari sebuah artikel di suatu majalah.

Sebelum magang, sebelumnya aku juga sempat “bertemu” dengan beberapa orang hebat dengan kisah hidupnya . Mulai dari kisah juru parkir cacat dengan segala harapannya dalam hidup, orang-orang dengan segala harapan dan semangat (terima kasih pak Sammy P3S) dan tentunya teman-teman penyemangat hidup.

Tapi baguslah. Semangat hidup masih ada, at least aku jadi sadar kalau aku masih hidup. Hmmm…ngomong-ngomong ini malah curhat colongan. Hahaha tak apalah. Saling berbagi pengalaman itu bagus.

Tidak rugi untuk menikmati hidup yang cuma sekali!


Sabtu, 05 September 2009

Tentang (Anti) Soccer Religion

Saya tergelitik dengan salah satu feature berjudul "(Anti)Soccer Religion" yang ditulis oleh Ahmad Syahrezal di buku kumpulan featurenya "The Innocent Rebel". Feature tersebut menuturkan kisah orang-orang yang tidak sepaham dengan pemikiran para fanatik bola di dunia ini. Sebagian dari mereka menganggap sepak bola adalah kegiatan yang bodoh, bahkan ada satu yang menghindarinya karena alasan agama!



Satu yang membuat saya tergelitik. Karena saya (mungkin) termasuk kaum "mereka". Jujur, dari dulu sampe sekarang nggak pernah ada rasa interest sama permainan "ijo" ini. Alasannya "membosankan". Karena sepanjang satu setengah jam kita cuma disuguhi 22 orang berlarian kesana kemari di atas lapangan haijau buat ngrebutin satu bola tolol.

Memang keberadaan sepakbola (dan tentunya para fanatik setianya) tidak bisa disalahkan. Sepakbola punya sejarah panjang sendiri. Baik itu sejarah yang normal, maupun sejarah yang “sedikit gelap”. Benar, saya pakai kata “sedikit gelap” karena menurut (lagi2) feature mas Syahrezal, sepak bola juga punya sejarah kelam.

Sepakbola pernah dilarang dimainkan di daerah timu tengah, bahkan pihak ulama di sana sempat mebgeluarkan fatwa larangan bermain sepak bola (tentu saja berdasarkan “ketidaksesuaian ajaran agama). Selain itu, sepakbola katanya berasal dari tentara Inggris yang menendang-nendang kepala pangeran Denmark dari satu kota ke kota yang lainnya. Larangan olahraga ini juga pernah dikumandangkan pada masa kejayaan Ratu Elizabeth II, karena sepak bola dianggap permainan para pemberontak.
Sebenarnya untuk kata “anti” atau bisa diartikan benci, saya juga (belum) masuk ke wilayah tersebut. Kakak dan Ayah saya penggemar bola sejati. Terlebih kakak saya (laki-laki tentunya). Tapi entah mengapa saya nggak ada sense sedikiitpun untuk mengikuti permainan tersebut.

Ya kalau boleh saya menganalisis diri saya, saya melihat sepak bola adalah permainan yang penuh intrik, emosi, arogansi dan sebagainya. Dan pribadi saya “berseberangan” dengan semua itu . selain alasan “bosan” yang saya sebutkan diatas, saya juga kurang sreg dengan “paradigma” yang tertanam pada sebagian besar para fanatik bola. Kalau menang pesta pora, kalau kalah ngamuk.

Dulu sekali saya pernah, mendoktrin diri saya sendiri untuk menjadi “jatuh cinta” pada permainan ini. Tujuannya hanya satu “agar bisa diterima di lingkungan (nyambung sama obrolan teman mengenai bola)”. Tapi hasilnya nihil. Malah saya berkesimpulan menarik diri bial topik yang diperbincangkan adalah sepakbola.

Haha…

Ya itu sekedar opini saya pribadi. Bukan karena tidak suka olahraga. Dibanding sepakbola saya lebih suka nonton voli, atau bulu tangkis, karena tempo permainannya cepat jadi tidak membosankan. Tapi apa kata zaman telah berkata. Dunia itu seperti polling sms. Yang paling banyak penggemarnya/ penganutnya adalah pemenangnya. Peduli amat yang emnag itu baik atau buruk. Yang penting histeria, euforia dan hype sesaat. Itulah hidup di abad ini!


Senin, 20 April 2009

Are We Friends or We Are the Lovers?


Tag line bagus dari film "Beautiful Summer" (kalau gak salah, lupa soalnya film lama). Kenapa bagus karena ini normal, cukup mengganggu (bagiku) tapi meaingful. Seringkali terjadi (terbukti dengan banyaknya soundtrack yang menyertainya) kadang berujung manis, tidak jarang berujung pahit.
sebenarnya apa yang terjadi? bagaimana kita bisa mencintai orang yang selam ini kita anggap sebagai treman kita?
sedikit cerita aja, hal ini juga pernah terjadi padaku. Namun tidak berlanjut ke hubungan yang lebih jauh. Aku sudah komitemen dengan "teman"ku itu untuk menyimpannya sebagai suatu kenangan saja. bukan melupakannya.
bagiku hal seperti ioni sangat manusiawi dan wajar. Kedekatan emosional sebagai teman dekat yang berlebih kadang berujung pada kedekatan emosional yang berbeda. Perasaan aman dan nyaman berada di dekat teman dekat bisa mendorong kecenderungan tersebut.
Tapi mengapa hal seperti itu seringkali terjadi???
Suatu hari saya sempat ngobrol dengan salah seorang teman. Dia mengalami satu kejadian seperti yang dibahas di tema ini. "Sahabat Jadi Cibta" kalau kata band Zigaz. Menurut alibinya, ketika dia merasakan hal seperti itu, dia akan melakukan "persamaan persepsi" antara dia dan teman yang disukainya.
Pertama sedikit bingung dengan istilah persamaan persepsi. Ternyata yang dilakukan adalah sebuah kesepahaman antara satu dengan yang lainnya, ketika satu sama lain saling suka. Dan si situlah menurut dia arti "relationship"
Entah kenapa saya tidak setuju dengan "persamaan persepsi". Oke, kalau memang kita mengerti satu sama lain. Lalu bagaimana kalau lawan jenis kita "tertarik" pada makhluk lain di luar sana. Tidak ada suatu ikatan yang bisa menahannya.

Yah, mudah saja bagi saya. Kalau persepsi sudah sama (dan tidak perlu dideklarasikan sebenarnya, tinggal bilang komitmen aja cukup. Karena komitmen merupakan perjanjian tidak tertulis yang akan terpatri di hati masing-masing individu. Nah, baru setelah itu silahkan mengartikan itu sebuah relationship, pacaran atau dating. Karena kata-kata itu hanyalah sebuah simbol. Satu yang penting ya cuma itu, KOMITMEN!
Betul???


Selasa, 27 Januari 2009

Another Global Warming Campaign : Wall E

Ada banyak cara mengkampanyekan isu Global Warming atau pemanasan global. Semua mengarah pada satu tujuan walaupun kampanye tersebut ada yang berupa kegiatan nyata atau sebatas wacana saja. Salah satu media yang digunakan dalam kampanye ini adalah film (media elektronik audio visual). Hal ini cukup efektif di mana media film merupakan media yang dapat mem-persuade khalayaknya dengan baik. Beberapa film sempat mengusung isu tersebut dan hampir semuanya begenre sci-fi.
Disney bekerjasama dengan Pixar animation membuat gubahan baru. Mereka berhasil mengusung isu pemanasan global secara gamblang melalui film animasi berjudul Wall E. Terlebih film animasi seperti Wall E mempunyai sasaran market anak-anak, sehingga secara tidak langsung film ini akan mengajarkan anak-anak untuk lebih mencintai bumi ini.
Cerita berseting di abad 27 di mana bumi tidak dapat ditinggali manusia lagi karena kadar asam di planet Bumi menjadi sangat tinggi. Hal ini membuat manusia untuk segera meninggalkan bumi untuk tetap hidup. Hal ini berakibat bumi menjadi planet yang ditinggalkan dan menjadi tempat tumpukan sampah. Wall E yang merupakan generasi terakhir robot pengolah sampah ciptaan manusia terusik dengan kedatangan Eve, robot yang diprogram untuk mencari sumber-sumber kehidupan yang tersisa di Bumi. Eve merupakan robot buatan manusia juga yang hidup di sebuah spaceship bernama Axiom. Pertemuan eve dengan Wall E menjadi awal cerita ini, dimana takdir manusia akan berubah karena mereka. Apakah mereka akan tetap berada di Axiom dengan fasilitas yang berlebihan (dan membuat manusia menjadi malas untuk melakukan sesuatu serta menjadi berkurangnya kepedulian sosial) atau akan kembali ke Bumi untuk mengenal kembali peradaban manusia yang sesungguhnya.
Cerita memang sedikit klise namun isu dan pengemasan film ini sangat menarik dan berbeda. Selain itu tampilan grafis Wall E juga smooth banget. Karakter robot di sini kelihatan menjadi sempurna karena mereka hanya berkata satu atau dua patah kata saja (seperti layaknya robot ciptaan manusia, hal ini juga menjadikannya berbeda dengan film animasi robot lain seperti Robots) namun masih mempunyai beberapa sifat yang dimiliki manusia. Mungkin karena itulah Wall E berhasil menyabet penghargaan Golden Globe untuk kategori film animasi terbaik mengalahkan saingan terberatnya : Kungfu Panda.
Yang jelas film ini cukup menghibur dengan jokes¬-nya namun tidak meninggalkan esensi penting dari isu yang diangkat film ini. Menghibur sekaligus menyadarkan, adalah cara unik untuk mengkomunikasikan informasi. Dan hal itu terbukti cukup efektif.



Jumat, 16 Januari 2009

Tidak Selamanya Sendiri = Kesepian

Tidak percaya? Silakan mencoba sendiri. Saya telah membuktikannya lho. Dan ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan sebelumnya.
Ide atau pemikiran ini mulanya saya dapatkan dari beberapa pendapat di buku bergenre road book (emang ada ya buku bergenre seperti itu? kalau road movie sih ada). Ada yang berpendapat bahwa melakukan perjalanan sendiri itu ada nikmat tersendiri. Karena penasaran dengan pendapat yang mulanya nyeleneh seperti itu, saya jadi ingin mencobanya.
Kalau kebanyakan orang berpikir “masak iya mau jalan ke mall, atau makan sendirian, gak asyik. Nanti dikira manusia asosial. Selain itu kalau ada apa-apa jadi repot sendiri”. Well, sebenarnya nggak salah pendapat seperti itu. Berjalan dengan teman-teman, keluarga atau pacar memang sangat menyenangkan. Namun berjalan kemana-mana sendiri?
Saya mulai dari praktek kecil-kecilan yang sangat sederhana. Contohnya makan siang. Pernah suatu ketika saat itu Visi akan mulai rapat, dan saya sangat lapar. Saya putuskan untuk makan dulu. Saya sengaja tidak mengajak siapa-siapa, karena ingin menikmati kesendirian. Mulanya saya tetapkan tempat makan. Kemudian ketika dalam perjalanan, saya mencoba sedikit muter-muter keliling kampus, menikmati sejuknya pohon-pohon di rimba UNS yang seharian basah diguyur hujan. Puas dengan hawa sejuk, saya mulai mencari tempat makan yang dimaksud.
Sewaktu itu tujuan saya cuma tempat makan mie ayam di belakang kampus. Waktu makan, ya seperti biasa. Cuma tidak ada teman untuk mengobrol. Untuk gantinya, bisa saja coba memperhatikan sekeliling, sedikit bermain fantasi (bukan fantasi yang jorok lho), atau kalau mulai kehilangan akal, ambil handphone terus coba deh berinteraksi dengan kerabat lewat sms atau telepon sekalian. Nah ketika makanan datang, saya bisa konsentrasi penuh dengan makanan yang tersaji.
Memang sepintas akan terlihat membosankan. Tapi jujur, sepulang makan siang saya menyadari ada sesuatu yang berbeda. Merasa lebih segar. Saya jadi merasa having my own time. Tidak ada orang yang ribut dengan waktu. Walaupun mungkin dikejar waktu, namun kamu bisa memliki waktu yang terbatas tersebut. Bahasa tingginya “tidak ada intervensi”.
Cuma itu aja? Salah. Kamu bisa “menikmati” kesendirian. Saya menggunakan kata “menikmati” karena saya benar-benar sendiri. Tenang, tidak ada tuntutan, tidak ada obrolan yang lain, bisa menjadi ajang instropeksi diri atau bisa juga sebagai ajang untuk memanjakan diri.
Selain makan, bisa juga datang ke perpusatakaan sendirian untuk baca koleksi buku-buku yang bagus buat otak tentunya, ke foodcourt mall juga boleh buat ngecengin cewek-cewek yang seliweran (tanpa rasa cemburu dari sang pacar), atau hotspotan di kafe dan sebagainya. Yang penting pantas aja dan tidak manunjukkan bahwa kamu adalah orang aneh yang patut dijauhi sehingga hartus berjalan sendirian.
Dari contoh yang saya lakukan, jujur saya tidak merasa kesepian. Banyak hal di sekitar untuk diajak interaksi. Untuk meyakinkan diri kalau kita tidak kesepian adalah percaya bahwa masih banyak orang di sekitar kita yang sayang dan mencintai kita dengan tulus. Hal tersebut sebenarnya tidak sulit, namun manusia yang dasar lebay akan suatu problematika kehidupan, sehingga sulit menggapai kata percaya. Seringkali kita memang harus percaya dengan kata “percaya”.
Pada intinya, kadang manusia membutuhkan waktu untuk sendiri. Seperti kalau kita sedang emosi kemudian menyendiri di kamar. Menyendiri adalah tempat ketika kita dapat meluapkan emosi, emosi yang hanya kita dan Tuhan sendiri yang tahu. Sedangkan kunci kenikmatan sewaktu menyendiri adalah “just blend with surrounding, and feel the emotion”. Tapi ingat, hal ini ada batasnya. Interaksi dengan orang lain juga tidak kalah penting, dan menyendiri jangan dijadikan sebagai watak individualistis. Dengan porsi yang pas, “sendiri” dapat membuat hidup menjadi seimbang. Percaya deh.