Kamis, 19 April 2012

Another Year (2010) Lovely Movie about Lovely People


Film drama, khususnya drama keluarga yang berhasil, menurut saya dibangun melalui penokohan karakternya. Entah seklise atau sesederhana apapun plotnya, apabila karakter yang didalamnya hidup dan dapat membangkitkan chemistry yang kuat, film drama tersebut akan berhasil, setidaknya di mata saya. Ingat Little Miss Sunshine? Rabbit Hole? Atau The Sister’s Keeper? Selain memang didukung plot yang menarik, tapi yang dominan disini adalah penokohan karakter. Dan tenu saja ini harus didukung oleh departemen akting yang mumpuni.

Dan begitu juga dengan film Another Year, film yang disutradarai Mike Leigh ini menawarkan kehangatan di setiap segmennya. Another year bercerita tentang kehidupan Gerri (Ruth Sheen) dan Tom (Jim Broadbent), pasangan romantis yang telah berusia senja, dalam menjalani empat musim kehidupan, spring, summer, autumn dan winter. Gerri dan Tom, adalah pasangan yang hangat, menyenangkan dan dikelilingi orang-orang yang menyenangkan namun tidak bernasib sama. Terdapat Joe (Oliver Maltman), anak semata wayang mereka yang hingga umur 30 tahun belum mendapat pasangan, Mary (Lesley Manville)  rekan kerja Gerri yang merasa insecure setelah ditinggal suaminya dan menaruh hati pada Joe, Ken (Peter Wight)  teman  Tom yang pasrah hidup dalam kesendirian sambil menanti umurnya habis dan Ronnie (David Bradley) kakak dari Tom yang depresi setelah istrinya meninggal dan juga dimusuhi oleh anaknya sendiri. Gerri dan Tom bagai dikelilingi oleh manusia yang hangat namun punya rasa dingin yang dirasakan. Pada titik ini, sadar atau tidak, Gerri dan Tom, adalah orang yang sangat berarti bagi mereka.

Sudah lama saya tidak merasakan sebuah hiburan yang “hangat” di hati, dan Another Year mewujudkannya. Gerri dan Tom, entah kenapa mata saya tidak bisa lepas dari mereka. Kalau ada kandidat pasangan paling romantis selain Romeo Juliet, Jack dan Rose di Titanic, atau Glen dan Marketa dalam film Once, maka nominasi selanjutnya mungkin kedua orang ini. Melihat kebersamaan, kekompakan, cara berkomunikasi mereka yang sempurna, sungguh memberi kehangatan tersendiri, bukan hanya bagi Mary, Joe, Ken dan Ronnie, tetapi juga bagi para penonton film ini. Akting Ruth Sheen dan Jim Broadbent  sangat apik, chemistry yang dibangun sangat sempurna. Gerri dan Tom mewakili seluruh kakek nenek yang romantic di dunia ini. Sweet.

Yang paling mencuri perhatian dalam film ini adalah Lesley Manville yang berperan sebagai Mary. Mary yang cerewet, gugup, menyenangkan sekaligus getir dalam kesendiriannya, ditampilkan apik oleh Leasley. Selain itu penampilan Joe, Ken dan Ronnie juga tidak kalah mencuri pehatian. Mereka berhasil menampilkan sisi getir orang-orang menyenangkan walaupun porsinya berbeda-beda.

Selain itu naskah yang juga ditulis oleh ini Mike Leigh tentu saja menjadi jawaranya. Membagi film menjadi 4 segmen (dan sedikit mirip omnibus karena banyak karakter dengan penokohan dan masing-masing mempunyai kekuatan cerita sendiri-sendiri) membuat film ini menarik. Dimulai dari musim summer yang memang menyimpan keceriaan hingga musim dingin yang dalam ceritanya juga ditampilkan “dingin”. Semuanya hampir sempurna. Mungkin salah satu kelemahan (ya, setidaknya bagi saya) adalah ujung dari tiap nasib insan yang saya sebutkan tadi. Mungkin memang didesain menggantung, tapi bagi saya ada yang kurang dalam penyeleseiannya. Selain itu tempo yang lambat plus durasi yang cukup melelahkan bagi saya juga sedikit menganggu. Sedikit saja kok, soalnya semua itu terbayar dengan melihat dan merasakan Gerri dan Tom. Loveable.

Senin, 16 April 2012

Twitter : Peraduan Penulis Linimasa

Timeline saya, bacaan saya. Itulah salah satu ungkapan saya yang paling mendasar ketika ada hal-hal yang mengganggu saya ketika membaca timeline. Tidak perlu saya terangkan panjang lebar ini mengenai apa. Iya, ini mengenai twitter. Dunia "kedua" yang paling sahih keberadaannya. Dunia tempat semua penulis dadakan beradu dalam linimasa. Bermutu atau tidak itu urusan belakangan.

Itu sebabnya saya menganggap linimasa ini adalah sebuah majalah, atau digital magazine kalau harus menilik dimensinya. Twitter dan timeline yang bergerak di dalamnya bukan lagi alat sosial media berbentuk interaksi satu orang ke orang lain. Singkatnya, menurut hemat saya, rugi kalau twitter hanya diperuntukkan sekadar saling retweet me-retweet atau reply me-reply obrolan yang bahkan bisa dilakukan bahkan di dunia paling nyata. Ya itu menurut saya sih, silakan kalau tidak setuju.

Kembali ke awal, saya memperlakukan twitter seperti majalah, media digital. Kenapa? karena ada banyak rubrik di dalamnya. Rubrik yang ditulis oleh para penulis dadakan. Gampang saja, saya tertarik dengan film, video game, digital movement (oke saya bingung dengan istilah ini, tapi intinya social movement dengan metode publisitas via social media) dan (sedikit) hal yang bermuatan sastra.  Caranya gampang saja, saya follow orang atau akun lebih tepatnya, yang memang bermuatan itu, mempunyai konten. Tentu saja, saya masih menyisakan rubrik untuk bersosialisasi dengan teman-teman saya.

Seperti tadi pagi, ketika saya bertanya apa saja yang saya lewatkan semalam di twitter. Teman satu menjawab gempa Jakarta, teman yang lain menjawab ramainya sebuah tagar di timeline. Iseng (atau niat yak?) scrolling-scrolling timeline dan tidak menemukan tagar yang dimaksud. Setelah dikonfirmasi ternyata tagar tentang sepakbola, sedangkan saya bukan penggemar bola dan tidak follow atau menyimak hal-hal tentang sepakbola. Intinya, saya gak masuk segmen tagar itu tadi. Saya memilih untuk tidak masuk menjadi segmen itu dengan alasan ya saya punya ketertarikan lain yang lebih bisa saya tunggu untuk muncul di linima saya. Linimasa yang saya bentuk dan ciptakan sendiri.

Terlebih dengan itu sebenarnya, sebagaimana dengan yang lain, saya pun menjadi penulis dadakan di timeline. Menjadi kontributor dadakan di timeline orang sekaligus bertukar pikiran dengan orang yang menghiasi timeline saya. Sebenarnya saya bisa menulis apa saja, entah itu sesuatu yang baik-baik (yang entah kenapa selalu dihubungkan dengan pencitraan) atau sumpah serapah dan sebagainya. Saya akui, saya bukanlah orang yang expert dalam satu bidang (atau mungkin belum begitu) jadi saya menulis apa yang saya tahu saja, hobi terutama. Game atau film salah satunya. Pada akhirnya ini akan memberi efek atau pengaruh pada pembaca timeline kita. Misalkan ada yang nyambung dan ada interaksi, bisa bertukar pikiran, nambah kenalan baru, bisa diskusi dan endingnya bisa nambah pengetahuan. Semua berawal dari menulis itu tadi.

Pada akhirnya, menulis adalah salah satu cara mendokumentasikan apa yang ada di otak, apa yang lewat di pikiran, bahkan apa yang sedang dirasakan. Dan twitter menawarkan satu hal, menulis tanpa ada rasa beban, kacuali beban 140 karakter (santai, masih bisa kultwit kan?). Jadi menulislah, karena menulis itu baik.