Selasa, 04 Desember 2012

Kepo, Ciyus, Wow and the next silly things

Setelah sempat terjebak dengan konsep alay (dan ternyata ada yang masih terjebak di dalamnya) muncul lagi ragam bahasa ajaib yang kini muncul di sosial media. Bahasa ajaib ini kemudian menjadi bahasa populer di kalangan anak muda, yang notabene pengguna sosial media paling aktif di Indonesia. Seringkali satu kata ini merupakan satu celotehan begitu saja yang kemudian mendapatkan respon secara viral. Pertama mengundang penasaran, kemudian mencoba mengaplikasikan di bahasa, lalu jadi kebiasaan hingga mendapat  predikat "bahasa masa kini". 

Masih ingat dengan KOWAWA? Setelah saya nyoba nyari-nyari penjelasan dimana-mana (eh niat), Kowawa ini ternyata tidak mempunyai arti. Meskipun ada yang mengartikan kowawa sebagai sebuah ekspresi kebahagiaan, namun secara harafiah memang tidak mempunyai arti (ini juga disampaikan oleh akun yang pertama mempopulerkan Kowawa @babikbinal , yang punya banyak follower di twitter sehingag memudahkan proses penyebaran viral tersebut). Namun fenomena kowawa tidak bertahan lama, sekitar seminggu- dua minggu kangsung habis terseret ramainya linimasa kala itu.

Lalu ada kata Kepo. Kepo sendiri muncul lebih dulu dari kowawa sebenarnya, namun kepo mempunyai pamor lebih ketimbang kowawa. Masih ada yang belum tau arti kepo itu apa? 

Entah siapa yang pertama kali membuat istilah kepo ini. Menurut pengertian saya, kepo itu penasaran, istilah untuk menggambarkan orang yang selalu ingin tahu dengan kehidupan orang lain. Beberapa mengasosiasikannya dengan kata stalker. Parahnya sekarang kepo sudah sampai tahap ketiga, yakni aplikasi di kehidupan sehari-hari. Bayangkan anda berada dalam obrolan santai dengan beberapa teman muda anda yang "social media savvy". Alih-alih menggunakan kata "penasaran" atau "ingin tahu", lebih banyak yang menggunakan kata "kepo" (jangan salah, saya juga kadang begitu). Kepo dinilai lebih up to date dan lebih ringkas penggunaannya. Di sini, saya khawatir, bila hal ini terus terjadi dan berkembang, bukan tidak mungkin bahasa Indonesia yang kaya makin tergeser dengan bahasa ajaib ini.

Kemudian ciyus, miapah dan kata-kata "terus gw kudu bilang wow gitu". Ciyus, miapah dan sederet lainnya itu sebenarnya plesetan dari kata serius, demi apa (dilogatkan dengan bahasa bayi biar keliatan....lucu errr...). Sedangkan "wow" things ini, entahlah muncul darimana, mungkin artinya seperti "jadi aku harus kaget" namun penggunaannya sebenarnya untuk hal yang menjurus pada sinisme (nada yang dipake kudu pake nada sinis). Dua kata ini sebenarnya cukup mengganggu. Parahnya, dua istilah ajaib ini sudah masuk ke media konvensional, sehingga dengan cepat diadaptasi oleh semua orang (terutama anak-anak karena terdengar lucu dan mudah diingat). Di sini semuanya bahasa ajaib ini mulai mengganggu bagi saya.

Sosial media memang lahan yang sempurnya untuk berkreatifitas. Banyak yang menciptakan istilah aneh-aneh melalui platform ini, dan sangat mudah untuk menyebarkannya (melirik tajam ke twitter). Saya pakai istilah bahsa twitter saja, karena memang bahasa-bahasa seperti ini sangat bisa ditemukan di twitter.

Kekhawatiran saya muncul ketika bahasa ajaib ini mulai "menggeser" kata-kata yang sudah terdaftar di KBBI. Bahkan penemuan paling parah ada penggunaaan bahasapopuler ini digunakan dalam soal ulangan di SD. Bila ini ditanamkan dari kecil, dan hal ini dibiarkan terus, maka jangan heran kalau dimasa depan bahasa Indonesia yang kita elu-elukan sejak peristiwa Sumpah Pemuda itu akan punah. Tidak masalah untuk gaul atau selkedar berucap dengan bahasa twitter ini, asal tahu batasnya. Sedih ketika melihat anak SD-SMP hafal di luar kepala istilah ciyus, wow, miapah namun tidak tahu majas litotes itu apa. Sosial media memang keren, tapi ketika itu mengubah hal yang paling mendasar di negeri ini, yakni bahasa, maka itu tidak keren lagi. Itu merusak.


Terus, setelah ciyus miapah dan sebagainya itu, ada apa lagi di sosial media?

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Nice post! :)