Senin, 04 Maret 2013

Television : Why'd You Keep Portrayed Hajj As a Bad Things :"(

Turn off your TV and go get your real life.

Akhir-akhir ini, hal semacam "matikan TV" atau "stop nonton TV" terus berdengung melalui sajak, lagu, puisi, prosa, essay dan banyak lagi. Sebelum nantinya post ini menyerukan hal yang sama, mari kita mulai dengan pertanyaan, kenapa?

Banyak jawaban yang bisa diterangkan melalui pertanyaan "kenapa" tersebut. Mungkin terlalu panjang bila dituliskan dalam satu postingan. tapi kalau boleh saya mengambil satu poin saja, mungkin perhatian saya tertuju pada permasalahan "how they portrayed things in TV shows". Ya, penggambaran, penokohan, penyajian, menjadi salah satu hal yang pada akhirnya membuat muak para pemirsanya sendiri. Masaah ini kemudian bisa diikuti oleh faktor-faktor lain seperti unsur edukasi dan lain sebagainya.

Baiklah, langsung saja saya contohkan. Ingat dengan haji Sulam juragan bubur ayam yang hits banget itu. Kalau kenal dan pernah nonton maka sudah pasti juga kenal dengan Muhidin, seorang "pak haji" yang disetting sebagai rivalnya. Dari awal saya tidak setuju dengan penokohan si Muhidin, meskpun porsinya dibuat cukup seimbang antara si baik dan si buruk. Sebenarnya untuk ukuran sinetron, Tukang Bubur Naik haji ini selangkah lebih maju dalam mempermainkan emosi karakter. Haji Sulam tidak digambarkan sebagai seorang yang paling bak, sesekali dirinya emosi dan bisa naik darah.

Oke, saya cabut kata-kata saya tetang selangkah lebih maju. Saya baru tersadar, kalau protagonis di sini bukanlah makhluk sempurna, si antagonis di sini terlalu sempurnya untuk menjadi seseorang yang jahat. Muhidin digambarkan sebagai seorang yang nyaris tidak memiliki sisi baik. Padahal, sekali lagi, dirinya ditokohkan sebagai seorang Haji. Ini cukup serius karena label haji di dalam masyarakat luas, dipandang sebagai label yang dapat memberi contoh baik. Sedangkan satu ini, kontradiktif... sekali.

Ternyata tidak berhenti Muhidin. tadi, secara tidak sengaja saya melihat sinetron lain yang sama-sama menggunakan atribut "hajjah" di dalamnya. Dalam scene tersebut, seorang ibu yang kesusahan, memohon kepada seorang "bu hajjah" perihal masalah hutang piutang. Saya tidak hafal dialognya (yakali mau ngafalin) namun yang saya tangakap (dengan mudahnya), si bu hajjah ini rentenir sejati yang liciknya gak sopan. Alih-alih memberi senyum hangat, justru devil smirk dipertontonkan dengan lugas dalam perannya sebagai ibu hajjah. It makes me sick.

It is how you portrayed the good things?

Percayalah, label haji itu bukan mainan. ilmu agama saya memang masih cetek, tapi saya tahu betul haji itu perjalanan yang kudus, suci dan penuh arti. Saya jadi ingat film "Le Grand Voyage" my all time fave movie. Dalam film tersebut, Haji bukan hanya berhenti dalam label saja, namun sebuah proses. Proses perjalanan yang emosional yang menguras tenaga, hat dan pikiran. Bagaiman bisa pendekatan tentang haji yang sedemikian hebatnya dijungkirbalikkan menjadi seperti apa yang terjadi di televisi Indonesia.

Kelas menengah bisa saja mengelak dari tontonan macam ini. Namun sialnya, berapa persen sih jumlah kelas menengah ke atas di Indonesia. Memang tayangan seperti ini targetnya kelas menengah bawah. Dan itu cilakanya. Dengan bekal pendidikan yang terbatas, masyarakat bisa saja langsungs mencerna apa yang disajikan di dalam TV begitu saja. Mereka lebih suka nonton sinetron beratus-ratus episode ketimbang membaca hasil jurnal ilmiah mengenai apa yang mereka tonton. Mungkin ini cuma ketakutan saya, penilaian orang tentang haji sendiri bisa saja berubah. Yang baik jadi tidak baik dan sebagainya. Cepat atau lambat, bila tidak ada perubahan, ini bisa saja terjadi. Menyedihkan.



 


Tidak ada komentar: