Minggu, 03 Juni 2012

Random Conversation : Jaman Dulu dan Radio

semua ini berawal dari insert investigasi....

Jadi saya mengalami perbincangan yang menggelikan tapi juga mengesankan bersama ibu saya. Saat itu insert seperti biasa, nayangin informasi klenik dan kali ini temanya adalah benda-benda peninggalan Soekarno setelah sebelumnya nayangin tentang nyi roro kidul (hell yeah, saya apal semua episodenya). Nah, karena segala informasi tadi dihadirkan selebay mungkin oleh insert, maka ibu saya jadi tertantang dan gak mau kalah. Beliau bercerita tentang pengalaman spiritualnya. Dan kali ini berhubungan dengan leluhur saya.

Jadi diceritakan, kakek buyut saya cara meninggalnya berbeda dengan orang kebanyakan. Dari cerita ibu saya, kakek buyut suka melakukan semedi, walaupun bisa dibilangnya imannya sangat kuat, alhasil almarhum selalu sehat dan berusia panjang (111 tahun! hail para leluhur kita!!!!). Saat itu tahun 1960-an, emak saya masih SD, dan waktu itu siang hari, emak saya sedang nyinom (membantu hajatan kerabat dengan menjadi pelayan) di lapangan, buyut saya memanggil nenek saya untuk mengumpulkan cucunya. Setelah cucunya pada ngumpul buyut saya berkata berderet-deret pesan-pesan dan diakhiri dengan ucapan "aku jam loro arep mabur" (aku jam dua akan terbang).

Dan ajaib, tepat pukul dua, kakek buyut saya meninggal dunia.

Bukan, cerita bukan berhenti di situ. Saya lalu penasaran dengan apa yang terjadi di era 60-an, jaman dulu banet, ketika telepon masih jadi barang langka. Semua alat elektronik masih jarang. Rumah yang ditinggali ibu beserta leluhur sayapun hanya diterangi tintir (semacam lampu teplok). Lalu iseng saya tanya

lah, nek wengi peteng banget berarti? (wah kalau malam berarti gelap banget?)

Kemudian ibu bercerita, kalau malam, di jalan desa dipenuhi kerlap-kerlip dari obor yang dipasang di depan rumah (saya membayangkannya desa saya kayak di dukuh paruk di film sang penari :)). Memang gak seterang sekarang, tapi lebih kerlap-kerlip. Yang meriah kalau pada saat lebaran, cahaya dimana-mana, dan di depan rumah pasti disediain gentong berisi air beserta siwur (semacam gayung yang dibuat dari batok kelapa). Gunanya agar kalau ada orang lewat depan rumah, si orang itu bisa mampir untuk minum dari air gentong. Kalau jaman sekarang boro-boro, pager rumah aja tinggi-tinggi banget, dan lihat orang minum dari kran air ledeng pun, kita udah was-was.

Radio 

Ada yang menarik dari mbah buyut saya. Yakni radio. Yak, barang elektronik masih sangat langka. Dan di kampung buyut saya, hanya dua orang yang punya radio, mbah Wiryo dan buyut saya (FYI, mereknya philips, emak saya masih apal mereknya). Kalau sekarang mungkin radio hanya didengarkan sambil lalu, tapi jaman dulu radio bener-bener jadi alat propaganda yang sangat efektif. Misalnya saat pak Soekarno sedang pidato kenegaraan. Bisa dipastikan sawah sepi, warung sepi, jalanan sepi. Semua orang kampung berkumpul di gubug samping rumah, mendengarkan pidatonya lewat radio philips milik kakek buyut saya. Semuanya (kata ibu) menyimak pidatonya dengan serius.

Bukan cuma pidato kenegaraan yang disimak. Pernah juga, gubug samping rumah ramai karena ada siaran tinju di radio. Iya, tinju di radio, jadi ya cuman nyimak komentator nyerocos aja di radio. Dan itu jadi perhelatan favorit ketika Mohammad Ali jadi primadona tinju. Jadi heran, jadi dulu orang dukung Mohammad Ali tapi gak tau mukanya kaya gimana, soalnya cuman nyimak lewat radio.

Pernah juga, waktu itu kakek buyut saya pernah diundang ke gunung karena ada hajatan dan diselenggarakan wayang semalam suntuk. Lalu saya tanya

lah emang mbah dalang? (Lah, emang kakek buyut dalang?)

Ternyata kakek buyut saya bukan dalang. Wayang semalam suntuk yang dimaksud adalah siarang wayang yang disiarkan lewat radio. Jadi semua orang desa kumpul, dan menyimak omongan dalang. They're visualized by their own mind. Jaman dulu mungkin biasa, tapi kalau didengarkan di jaman sekarang terdengar lucu dan unik.

Kalau saja perkembangan teknologi mandeg, saya ngebayangin, saya nonton avenger lewat radio. Mungkin bukan nonton, tapi nyimak, dan the Avenger sendiri bukan film, tapi drama radio.

:))




4 komentar:

alina dewi hartanti mengatakan...

simbah buyutmu orang berada ya nan... punya radio dewe lenn...

Nanda Bagus mengatakan...

ahahahaha
satu kampung yang punya cuma 2 orang
sangar eramm

Makanan Dahsyat mengatakan...

kalo film di radio-in kan malah gambarnya terserah kita, malah lebih indah kan

Nanda Bagus mengatakan...

bener banget, karena cuman dengerin audionya, imajinasi bakal lebih bermain, sayang sekarang adanya televisi justru makin mengerdilkan kemampuan berimajinasi :(