Selasa, 03 Juli 2012

Extremely loud and Incredibly Close: Sejauh mana kamu akan terus mencari? Sejauh mana keberanianmu?


Salah satu pembangun unsur human interest dalam sebuah cerita adalah umur. Tua dan muda, adalah hal yang menarik untuk disimak. Tidak hanya dalam sebuah berita, namun di film. Anak-anak selalu memiliki daya magis tersendiri dalam sebuah penceritaan, begitu juga dengan orang tua. Daya tersendiri dalam menggerakkan sisi emosional dari diri kita. Terlebih bila dihadirkan melalui film drama.

Setelah beberapa bulan yang lalu hati saya “dihangatkan” oleh cerita orang-orang yang berumur senja melalui “Another Year”, kali ini saya kembali “dihangatkan” melalui karakter anak kecil di “Extremely Loud and Incredibly Close”. Jelas, ini bukan pertama kalinya kisah yang lekat dengan “kehebatan” anak-anak divisualisasikan melalui film. Beberapa hadir dengan luar biasa seperti Hugo, August Rush, Children of Heaven dan masih banyak lagi. Film ini juga menyajikan pengalaman menarik, mengharukan dan tentu saja bernilai bagi penontonnya.

Kisah yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Jonathan Safran Foer, berlatar belakang peristiwa 9/11, film ini menceritakan bocah hebat bernama Oskar Schell (Thomas Horn), putera dari Thomas Schell (Tom Hanks) dan Linda Schell (Sandra Bullock). Oskar, merupakan anak yang tidak biasa. Ia adalah anak yang selalu penasaran, teliti dan gigih. Tapi dirinya memiliki satu kekurangan keberanian dalam hal benda-benda yang dianggapnya berbahaya dan beresiko. Semuanya bertambah buruk ketika ayahnya menjadi korban peristiwa 9/11.  Oskar menjadi penakut terlebih dengan benda yang bergerak.
Setahun setelah kematian ayahnya, Oskar tek sengaja menemukan kunci dengan label black di wadahnya. Mendapati itu sebuah tanda dari ayahnya, Oskar kemudian mencari tahu ada apa di balik kunci itu. Gembok seperti apa yang bisa dibuka dari kunci itu dan apa isinya. Siapa tahu dengan mencari tahu ada apa di balik gembok, dia bisa mendapati – 8 menit bersama ayahnya-. Dan nyatanya, yang ia temukan lebih dari 8 menit bersama ayahnya. Lebih dari itu.

Film ini mengajarkan tentang keberanian, kegigihan serta makna keyakinan tampa harus menggurui. Adegan tiap adegan mengalir dengan maknanya masing-masing, tanpa memberi bentuk wejangan ala Mario Teguh (eh, masih eksis kan dia?). semuanya tersampul rapi dalam balutan adegan berdurasi 2 jam ini. Memang cukup panjang, tapi tidak akan sia-sia. Dengan alur bolak-balik, film ini mampu menghadirkan seluruh kisahnya dengan komplit, tanpa tanda tanya dibelakangnya.

Dukungan Tom Hanks sebagai ayah yang baik dan dekat dengan anak semata wayang tidak sia-sia. Begitu juga dengan Sandra Bullock, perannya sebagai istri sekaligus ibu yang rapuh (tapi harus tegar) juga pas, tidak berlebihan, malah justru menarik simpati. Tapi harus diakui, yang paling brilian adalah Thomas Horn, aktingnya memang juara. Ekspresi keyakinannya, ketakutan, kebingungan ditampilkan apik. Meski saya bukan expert masalah film atau kritikus film kelas wahid, tapi kehadiran Thomas ini sangat vital dalam membangun cerita.

Tentu saja, Thomas disini juga didukung oleh arahan sutradara Steven Daldry Dan naskah yang cemerlang dari Eric Roth kata-kata yang indah namun terasa lugas, mengalir lancar dari ucapan Oskar. Pun dengan jalan ceritanya. Alih-alih membahas peristiwa 9/11, sutradara Daldry malah mengisahkan peristiwa keluarga kecil dibalik serangan itu. Walaupun, ya menurut saya penyeleseiannya masih kurang berasa nendang, dan ada beberapa bagian yang sebenarnya tidak perlu disampaikan, secara keseluruhan ini film drama keluarga yang bagus.

Assembling your emotion yet motivate us to not stop looking. Brillian.

2 komentar:

Nila789 mengatakan...

gue udah nonton augush rush, keren. tapi ending nya kurang wah gt. sebenrnya masih bisa panjang tuh alur nya. tapi, bakat August a.k.a Evan itu emg bener2,, kereeeeeeeeeeenn..

Nanda Bagus mengatakan...

August Rush bagus tapi emang rada kentang endingnya. Main gitarya beneran gak sih tu? keren amat, cuman ditepok-tepok doang bisa begitu hahaha