Jumat, 25 November 2011

Komedi "Cerdas"

Beberapa minggu kemarin saya sempet posting pengalaman saya tentang stand up comedy. Yak, metode paling mutakhir (di Indonesia) dalam urusan mengocok perut (sampai sekarang ngerasa aneh sama idiom ini, "ngocok perut" bukannya lebih pas buat mules ya?). Yang belum tau tengoklah metro tv tiap kamis malam, atau googling aja.

Banyak aspek yang sebenarnya menarik dalam sebuah stand up comedy, dari cara penyampaian, filosofi stand up (yang salah kaprah diartiin secara harafiah sebagai nge-jokes sambil berdiri), sampai materi-materinya. Namun, bagi saya ada yang sebenarnya menarik buat dijadikan diskusi, yakni perbandingan stand up comedy, dengan tawaran acara komedi di tv.


Mungkin kata perbadingan sedikit keliatan kejam, tapi itu yang terjadi kalau anda melihat komentar-komentar video stand up comedy di Indonesia. Mereka dengan kejamnya membandingkan acara komedi slapstick semacam opera van java denga model stand up ini, dan jatuhnya stand up comedy lebih menang karena predikat "cerdas-beda-fresh" dan si opera nan malang tadi jatuh pamor dengan predikat "norak-lebay-dll". Perbandingan memang tidak bisa dihindari karena ujung dari kedua hal yang dibahas di sini adalah sajian komedi dan berujung pada dampak yang sama : ketawa.

Apa yang dibandingkan? banyak. Materi terutama. Stand up lebih mengangkat tema-tema "serius-sensitif" atau tema yang jarang disentuh atau dihindari komedian pada umumnya. Tema-tema ini berbeda sekaligus dekat dengan audience. Seringkali diselingi humor satir dan kritik-kritik pada kondisi sosial yang berkembang di masyarakat. Inilah titik dimana sebuah stand up comedy, dianggap (berdasarkan pengamatan komentar-komentar di youtube) dianggap sebagai lelucon lelucon "cerdas".

Sedangkan humor yang berkembang di tv bisa dilihat. Tahun 2009 hingga sekarang, tayangan komedi Opera Van Java menjadi jawaranya. Dengan konsep "sketsa" (pernah ngehits pas diangkat Extravaganza) dan mengandalkan pelawak inti : Sule, Ajiz Gagap, Parto, Andre dan Nunung, pamornya semakin melejit. Masalah isi humor? meskipun sempat tersandung-sandung KPI karena guyonan yang suka kelewat kasar secara fisik (lewat stereofoam), formula lawakan-lawakannya sebenarnya bukan hal yang baru. Nonton opera van java mirip dengan nonton srimulat, namun dengan beda pemain dan "tren" lawakan. Lawakannya memang mudah ditebak, jadi semua disini memang mengandalkan aktor yang main di dalamnya. Terbukti beberapa acara mengekor model opera ini dengan gaya "eksposure properti" yang berlebihan. Hasilnya, tak ada yang bisa menyamai predesesornya, karena ya aktornya berbeda.

Tapi gak selamanya opera selalu digandrungi, haters akan selalu ada. Dan ketika ada si stand up come out public, mereka akan langsung meliriknya, menemukan kelebihan dibanding si opera. Lalu membandingkan dan mencap si stand up cerdas dan si opera itu kasar dan blablabla.

Indikator cerdas ini yang menurut saya salah kaprah. Baik opera van java (dan acara sealiran) gak bisa dibandingkan begitu saja dengan gaya stand up. Apakah cerdas itu lucu? apakah cerdas itu kritis? apakah cerdas itu "berbobot"?  Toh saya masih bisa ketawa kalau nonton aksi Sule dkk, dan tetep bisa mengernyitkan dahi ketika lihat jokes si comic itu "gek kena". Jadi mana yang cerdas?

Komedi bagaimanapun formatnya tetaplah komedi. Tujuannya menghibur, bikin orang ketawa. Cerdas di sini lebih saya artikan pada keberhasilan sebuah sajian komedi untuk mengajak penonton ketawa. Percuma bawa materi berat, tapi audience gak bisa ketawa, malahan bingung. Percuma juga pasang muka tolol yang diyakini lucu, tapi audience malah melongo dan geleng-geleng. Sule itu bagi saya cerdas, karena dengan jokes yang diulang-ulang tetep bisa bikin orang ketawa. Pandji juga cerdas karena bisa bikin ketawa lewat humor satirnya.

So, cerdas di sini bukan pada materi, format, atau tampilan fisik, tapi lebih pada effort  atau usaha dalam menyampaikannya. You still can be a genius person, even in a slapstick moment.

Tidak ada komentar: