Selasa, 01 November 2011

Pak Gembong, Nyanyian Jenaka dan Kursi Roda

Saya bertemu dengannya sekitar pertengahan tahun 2009. Kali itu saya ditugaskan untuk mengangkat berita feature tentang seorang tukang parkir yang mempunyai keterbatasan fisik sejak lahir. Daerah operasinya di sekitar pertigaan Kepatihan. Namanya Pak Gembong. Bukan nama asli tentu saja. Kalau mungkin ada yang melintas di jalan Sultan Sjahrir, tepatnya pertigaan Kepatihan di sekitar pasar burung, coba lewat di rentang waktu 10 pagi sampai jam 12 siang. Dia biasa beredar di jam tersebut.

Lokasi wawancara kami tepatnya di serambi Masjid Kepatihan, sebelah perpustakaan daerah Solo. Waktu itu saya dan teman saya alina datang kesiangan sebenarnya, tapi berkat bantuan pedagang burung, saya tau tempat nongkrong pak Gembong. Tanpa ekspektasi apa-apa kami datang menemuinya. Saat bertatap muka secara langsung, barulah saya sadar bahwa sosok di depan saya ini berbeda. Selain mempunyai keterbatasan fisik, ternyata Pak Gembong juga memiliki keterbelakangan mental.   


Yang saya rasakan pertama kali adalah panik. Panik dan ngerasa blank karena waktu itu kita masih belajar jadi wartawan, dan dihadapkan dengan narasumber yang "berbeda". Beruntung, di masjid tersebut ada tiga bapak-bapak yang membantu saya memulai percakapan dengan Pak Gembong. Pertama saya tanya-tanya sesuai sama draft pertanyaan yang saya siapkan. Agak sulit ternyata berkomunikasi dengan beliau. Selain harus menggunakan bahasa jawa (ngoko alusm dan kosakata saya hancur berantakan), volume suara juga harus sedikit dinaikkan.

Sebenarnya beliau mengerti apa yang saya bicarakan, maksud saya seperti apa. hanya saja, beliau menjawabnya dengan "pak Gembong style". Beliau suka bernyanyi, walaupun minimalis. Jadi ada beberapa pertanyaan yang dijawabnya dengan nyanyian. Misalnya :

Saya : Dulu, mulai jadi tukang parkir mulai kapan pak Gembong?
Pak Gembong : *nyanyi lagu* (lupa lagunya apa, tapi ada uinsur kata Januari di dalamnya, maksudnya adalah sejak bulan Januari)

Saya yang awalnya tegang, merasa sedikit rileks. Pak Gembong nggak cuman suka nyanyi, tapi juga doyan bikin lelucon. Awalnya pria 31 tahun bernama asli Januar Erdian (serius, namanya bagus) ini jadi tukang parkir di dekat Masjid Solichin. namuan kemudian ikut orangtuanya yang pindah di Kepatihan. Dengan dibantu masyarakat yang peduli dengannya, dirinya didaftarkan ke UPTD Parkir supaya jadi jukir resmi (punya seragam, id card dan sertifikat).

"daripada nganggur trus berbuat yang tidak-tidak mending jadi tukang parkir aja" begitu jawabannya mengenai pilihannya sebagai tukang parkir. Dengan segala keterbatasan fisik yang dimiliki dan di bawah tekanan kondisi ekonomi, dirinya memang tidak mempunyai banyak pilihan. Mungkin kala itu, yang ada di pikirannya adalah bagaimana bisa tetap survive, sekaligus berguna setidaknya untuk orangtua. Dia bertahan dengan apa yang dijalaninya, tapi dengan itu dia dihargai, dikenal orang. Boleh tanya sama orang-orang di sekitar pasar burung Widuran. Siapa yang gak kenal pak Gembong. Semua kenal. Ya kerna kejenakaannya, keunikannya, keberaniannya, ketangguhannya. 

Waktu itu tidak bisa menulis banyak tentang hasil wawancaranya (bayangin, coretan hasil wawancara cuman setengah halam blocknotes kecil). Saya kebanyakan bengong, merekam nilai-nilai positif dari perbincangan singkat itu. Alina teman saya juga tidak banyak berkutik. Di tengah hiruk pikuk kota, kacaunya sistem-sistem, saya dihadapkan langsung dengan sosok yang jujur bagi saya, sedikit memberi kejutan kecil di dalamnya. Di sempitnya kesempatan untuk menikmati hidup karena segala keterbatasan, pak Gembong berhasil menemukan kesempatan itu. Dia mengajari saya, cara bersyukur untuk bisa terus optimis. 

Oiya, pak Gembong juga punya cita-cita. Dia rajin nabung, buat beli mobil, untuk keliling kota bersama keluarga. Ketika sampai di jawaban ini, saya membendung air mata.

Tidak ada komentar: