Kamis, 20 September 2012

Galau Tingkat Fresh Graduate

*sorry for the "cetek" title*

Waktu itu selalu terburu-buru. Setidaknya untuk pace hidup saya belakangan ini yang cenderung laid back. Belum ada sebulan saya menikmati rasanya menjadi seorang fresh graduate, tagihan lain sudah menanti. Memang tiga pertanyaan maut "kapan lulus?", "kapan kerja?" dan "kapan nikah?" harusnya dibuang jauh-jauh ke laut saja. Saya sedang dihadapkan di fase kedua. "Kapan kerja?"


Ya sebenarnya gak nganggur-nganggur amat ya. Saya cukup menikmati pekejaan serabutan sebagai jurnalis freelance untuk koran iklan di Solo. Tapi kayak mbak agnesmo bilang pas jadi juri idol-idolan, cukup itu gak cukup. Iya, bener juga. Di bidang yang -entah sampai saat ini saya ragu untuk mendalaminya lebih dalam atau tidak- pekerjaan ini memang gak cukup membuat saya untuk terus belajar. Kalau capek dengan paragraf di atas, intinya saya kudu punya kerjaan yang lebih nggenah. Bukan berarti pekerjaan saya ini nggak genah, tapi dari saya sendiri juga punya targetan yang lebih tinggi. Dan untuk hal ini, dunia semakin gencar mengejar saya.

Minggu kemarin, baru juga duduk setengah jam di depan jurusan (dalam rangka nunggu kemahasiswaan buka buat balikin toga) udah disambut "hangat" oleh kajur saya tercinta. Langsung ditanya "kok masih disini?" dilanjutkan dengan "gak ikut jobfair?". Sebenarnya sih itu tanggapan ramah tamah kepada naak didiknya yang udah lulus. Tapi kok ya saya nangkepnya seperti ini "ngapain disini, nyari kerja sana!". Ini belum termasuk gimana hebohnya emak babe di rumah loh ya. Little bit too much, tapi ya saya ngerasa bener sih, walau susah, move on dari pernak-pernik kampus itu perlu. Dan salah satu move on ya itu, dengan kerja.

Praktis kegiatan saya selama ini adalah bikin cv, bikin cover letter dan ritual wajib tiap pagi adalah: buka-buka web direktori lowongan kerja. Milih-milih, mana yang cocok, mana yang oke dan sebagainya. Kalau sampe disini, kadang jadinya malah pengen belajar lagi (yes, studying, literally). Dikit lagi aja deh. Ada alasan mendasar dan rada cetek sih, soalnya takut ntar pas kerja keliatan cengoh dan screw the whole job. Manusiawi sih kalo ada ketakutan tersebut, tapi rasanya saya butuh sedikit waktu untuk mempelajari semuanya, in case for minimizing my fear. But time is runing out, I still can study those things, tapi ya sambil jalan. Gak ada waktu buat leha-leha, selo-selonan lagi.

Masalah selanjutnya adalah, bawaan dari seorang mahasiswa. Pas jadi mahasiswa, yang namanya idealis itu kayaknya dipupuk sedemikian tinggi, sampe-sampe bisa membutakan realita. Beberapa kali ngobrol sama emen yang udah mentas duluan, saya lihat idealisme mereka tinggal secuil. Yang mereka kejar adalah realita ini: "gimana caranya supaya bisa tetep hidup, kerja, mapan dsb". Sekali lagi saya rada takut di sini. Dilematis, apalagi posisi saya sebagai anak ragil (not blaming, but it haunted me) sebagai orang yang paling diandalkan nantinya (silahkan artikan sendiri, yes). Beberapa sampe tahapan "menggadaikan" idealisme (atau emang gak punya yah?) demi realita hidup yang mengejarnya. It quite frightening for me.

Yang paling gongnya adalah tentang passion, yang masih berhubungan sama idealisme. Pernah bahas passion itu disini. Ada yang bilang, kerja kalo sesuai dengan passion itu enak, hidup jadi gak ngoyo. Tapi ada lagi yang berpendapat, kerja ya nyari duit, passion itu buat sampingan. Kalau passion udah jadi rutinitas (baca: pekerjaan) pasti ada titik jenuhnya, kalau  udah sampai titiik jenuh, kita mau lari kemana kalo gak ke passion kita? galau enough, isn't it?

Sadar gak sadar, saya udah masuk ke dunia baru. Kalau dipostingan sebelumnya saya analogikan sebagai game, ya disini saya kayak ngeklik "new game" dengan 0 exp, dan nyari quest (jadi lebih ke MMORPG ini idup saya). Ah, mungkin saya sendiri sih ya terlalu paranoid. Intinya? ya dijalanin aja tho ya...

Welcome to the new world, welcome to the real jungle, nanda!

Tidak ada komentar: