Senin, 24 Oktober 2011

Redefined modernity

Nggak penting sebenarnya, cuman ya karena ini my personal page, jadi saya sah-sahin aja buat ngeshare ginian. Jadi tadi siang, saya kebetulan baca sebuah berita feature di surat kabar harian paling kondang sejagad penerbitan pers di Indonesia (baiklah, itu berlebihan). Kebetulan koran yang saya pegang tadi edisi hari minggu. Jadi isinya didominasi sama berita-berita ringan.

Sebelumnya, saya akui saya bukanlah seorang pembaca berita yang baik. Meskipun pernah dua kali magang di surat kabar harian, mental "pembaca setia" saya masih lemah. Tapi entah kenapa tadi saya niat-niatin baca berita feature di Kompas (yah kesebut deh medianya...) kok menarik juga. Salah satu berita feature yang dibaca adalah profil mengenai Dhaniya, seorang jewelry stylist. Sebenarnya saya gak terlalu ngeh sama si orang yang ditulis ini. Saya tertarik sama isi dari berita tersebut, yakni pandangan si Dhaniya tentang arti sebuah modernitas.


Menurut ibu satu anak ini, modernitas bukan dilihat dari apa yang menempel atau melekat, tapi apa yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. cara berpikir manusia. Yak, saya harus setuju. Modern (seharusnya) memang bukan dilihat dari tampilan luar. Bukan dilihat dari apa yang nempel di badan, apa yang ditenteng, gadget apa yang dipegang atau bahkan bukan dari seberpa aktif ngikutin happening-nya social media. Modern lebih dari itu.

Kalau mungkin saya boleh nambah-nambahin nih, modern itu dilihat dari bagaimana kita menyikapi akan suatu hal. Penyikapan itu dimulai dengan cara berpikir kita, frame berpikir kita, kemudian dilanjutkan dengan penyikapan nyata. Nah "suatu hal" inilah letak -yang kalau kita bilang- masalah kekinian itu. Tren, fenomena, segala sesuatu yang baru, masif dan sifatnya mengikuti waktu. Gampangannya, modern selalu diidentikkan sebagai bentuk nyata konsep kekinian tersebut, padahal modern adalah penyikapan dari segala konsep kekinian tersebut. Itu artinya, modern berasal dari diri kita, bukan benda-benda yang datang dari luar wilayah kita sebagai manusia. Itu menurut saya sih. 

Sebagai bukti nih, dari berjuta-juta Blackberry di Indonesia, berapa persen sih yang bener-bener menggunakannya as smart phone. I repeat. Smart Phone. Saya yakin gak ada separuhnya. Memang sih, ada kemudahan BBM, yang memungkinkan kita berhubungan secara (hampir) realtime dan kemudahan dalam bermain socmed. tapi ayolah, BB bukan cuman buat BBM-an. Kalau kita memang benar-benar kenal, harusnya kita tahu bahwa BB bukan cuman diciptakan sebagai alat komunikasi. As smart phone, tentunya gadget satu ini diberkahi fitur lain yang seharusnya bikin usernya ikutan smart pula. Saya lebih menghargai BB sebagai communication and organizing tools, ketimbang BBMan tools. Ada organizer, GPS, dan setahu saya (jujur, saya adalah non BB user :D) banyak aplikasi berguna, yang itu tadi, membuat usernya lebih terorganized, lebih smart. (serius, saya bukan BB haters)

Tapi ironinya memang terjadi. Di Indonesia, kaum urban melihat bahwa gadget ini merupakan sebuah simbol. Sebuah identitas diri. Mungkin banyak juga yang berujar kalau ini memudahkan dalam berhubungan dengan kolega, teman, kerabat sodara. Memang memudahkan, tapi kalau anda hanya berpikiran sempit seperti itu, menurut saya anda gagal dalam mengerti konsep modern, dibenturkan dengan kekinian bernama BB tersebut. Oke, mungkin bukan gagal, tapi perlu belajar lebih banyak (no offense yah buat seluruh BB user di dunia ini). Itu baru contoh BB.

Balik ke konsep modern tadi. Bagi saya sebenarnya konsep modern itu simpel. Modern bagi saya lebih ke arah fungsional. Meskipun harus diakui, sekarang kadang pengertian fungsional sendiri itu berbelok menjadi sebuah fungsi identitas. Semua itu wajar, karena manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial, sehingga kecenderungan-kecenderungan seperti itu pasti terjadi.



Tidak ada komentar: