Jumat, 20 Januari 2012

Review : The Beaver

sumber : http://www.trailershut.com
Sendiri dan kesendirian adalah dua hal yang berbeda. Sendiri bisa jadi hasil dari sebuah pilihan, kesendirian adalah situasi. What if they're happened in one time? sangat mungkin terjadi. Dan apa yang terjadi? apakah kesendirian itu berakibat sesuatu? dapat membuat seseorang kehilangan arah dan lose her/his mind? atau mungkin ada individu lain dalam satu sosok yang sama, hadir dan mampu mengalahkan kesendirian? mengubahnya untuk lepas dari predikat kesepian? atau hal yang banyak dikatakan sebagai alter ego itu dapat mengontrol hidup? lalu bagaimana dengan karakter yang sebenarnya merasakan kesendirian itu? apakah alter ego dapat menyembuhkan?

Mungkin paragraf di atas terlalu sulit dicerna untuk dibaca sekilas, tapi diskursus tentang alter ego (bukan kepribadian ganda) sedikit banyak diceritakan dalam film The Beaver. Menelisik apa saja yang bisa dikerjakan oleh ego lain yang dimiliki manusia. Bercerita tentang seorang Walter (Mel Gibson) seorang CEO perusahaan mainan anak-anak yang terpuruk. Walter, dengan banyak faktor seperti masalah keluarga dan usaha, membuatnya kehilangan kepercayaan diri, merubahnya jadi pendiam. Meredith (Jodie Foster) sang istri sebenarnya prihatin dengan keadaan suaminya, sedangkan anak-anak mereka Porter dan Henry mempunyai karakter yang tidak biasa. Porter membenci ayahnya, dan dengan segala macam cara, ia tidak mau berakhir seperti ayahnya. Henry adalah korban, si pendiam yang jadi objek bully di sekolah..


Semua berubah ketika dalam keputusasaan, Meredith mengusir Walter. Walter yang "kosong" menemukan boneka tangan berbentu berang-berang (beaver). Setelah sempat mencoba bunuh diri dan gagal, si beaver menjadi manifestasi alter ego Walter yang sangat percaya diri, cemerlang dan penuh kuasa. Melalui media si beaver, Walter kembali ke kehidupan masa lalunya. Memperbaikinya dengan caranya yang baru. Apakah berhasil?

The Beaver jelas bukanlah drama yang tepat untuk menjadi tontonan santai di sore hari. Penggalian makna kesendirian dari karakter Walter dan kemudian digeser oleh si beaver, menjadi sebuah pemikiran tersendiri (setidaknya bagi saya). Yang pada akhirnya menuntun ke satu momentum, apakah melanjutkan si aku? atau aku yang lain?

Walaupun berada dalam lajur premis yang sedikit rumit, The Beaver tetap tampil sebagai drama yang apik. Adegan demi adegan menuntun penonton pada nasib si Walter dan apa yang akan dilakukan si Beaver. Apa yang akan terjadi dan apa akibatnya nanti.

Divisi akting diisi oleh sosok-sosok yang mumpuni, sebut saja Jodie Foster yang merangkap sebagai directornya. Mampu menggambarkan istri yang setia pada suaminya, meski harus menghadapi berbagai pilihan berat. Lalu Mel Gibson, yang sangat piawai menciptakan karakter si Beaver ini. Perubahan logat kikuk dan kaku, ke gaya yang matang dan sangat percaya diri mampu dilakoni dengan baik. Anton Yelchin yang memerankan Porter, juga tampil dengan baik.Memerankan orang yang selalu menghindar dari ayahnya, baik secara fisik atau psikis, yang pada akhirnya tak jauh juga dari karakter si ayah. 

Walaupun bukan drama yang menguras air mata, nyatanya drama ini cukup menguras pikiran saya. Beberapa kali saya harus menyernyitkan dahi, karena harus menangkap atau mungkin menebak apa yang sebenarnya terjadi. Selain itu, tempo yang lambat mungkin akan membuat efek ngantuk di beberapa bagian. Tapi akting Mel Gibson dan nasib si Walter yang pada akhirnya membuat mata saya tetap terjaga. Afterall, walaupun bukan drama terbaik yang pernah saya tonton (ya, saya fans Rabbit Hole) The Beaver tetap worth watching kok, walau sedikit rumit.   

Tidak ada komentar: