Selasa, 13 Desember 2011

Memoria

Mengingat merupakan hal yang lumrah dilakukan. Apapun itu. Salah satunya (dulu sempet nulis beginian juga) mengingat kenangan. Mengingat hal yang pernah dilakukan, tentunya bukan hal-hal remeh temeh seperti kapan terakhir kali manjat genteng atau terakhir kali menyebarkan twit galau nan depresif di sepanjang timeline.


Secara otomatis otak akan mengingat, hal yang dirasa spesial pada saat itu, hingga pantas untuk diingat terus. Seperti ketika kita mengingat momen kemerdekaan bersama bapak-bapak pejuang kita. Itu karena hal itu pantas (dan harus sih, untuk penghormatan simbolis). Katakanlah sebuah kondisi itu adalah sebuah momen. Sedih, senang, depresif, kacau, membanggakan, yang terasa nancep di benak kita.Mengingat, itu bisa jadi sarana penyembuhan, secara emosional.



Saya pun melakukannya. Saya akui ada beberapa masalah personal yang berkenaan dengan ego saya, dan sangat mengganggu tiga bulan belakangan ini. Tentu saja ini berkenaan dengan orang lain. Katakanlah orang yang selama ini cukup dekat dengan saya. Sempat akumulasi ego itu dapat bekurang ketika saya mencoba bercerita (oke, sebut curhat juga boleh) pada seorang lainnya. namun satu dan lain hal, membuat setan-setan busuk menghembuskan bisikan untuk mengisi level ke-ego-an saya sekali lagi hingga berada puncaknya.


Bahkan sampai tadi pagi, semuanya masih terasa penuh di kepala saya. Spekulasi-spekulasi liar terus berkecamuk. Sampai akhirnya saya berada pada satu titik dimana mencoba untuk nothing to lose dengan sedikit usaha nyata. Saya tidak akan berbicara banyak masalah saya karena jelas bukan konsumsi publik, tapi saya akan tekankan betapa hebatnya kekuatan "mengingat" itu pada kasus saya. 


Secara sederhana saya lakukan hal itu. Mengingat. Mengingat apa yang sudah terjadi, berkenaan dengan hubungan saya dengan seseorang itu. Semuanya. Dan ketika saya berhasil mengingat semua, dan kembali merasakan nilai-nilai di dalamnya, saya kemudian berfikir, "Jadi saya tuh udah ngapain aja?"


Kemudian saya mengingat apa yang terjadi tiga bulan belakangan ini. Memang kontrol emosi yang payah (saya kudu banyak belajar di sini) dipadu dengan self acceptance yang rendah, menciptakan ego super tinggi. Dampaknya saya bersikap delusional dan mengandalkan insting denial dengan porsi akut. Ini kemudian yang membuat saya sadar bahwa, hey I've done wrong lately


I called it "the power of memoria" (pake bahasa latin gitu biar keren).


Ini memang bukan postingan permohonan maaf, karena dengan jelas tidak ada kata maaf di dalam post ini. Bagi saya maaf itu adalah kata yang suci, sakral (apalagi untuk masalah personal seperti ini, sepertinya kok gak pantas maaf-maafan di blog). Jadi maaf sebenarnya adalah ketika bertemu empat mata, dan dengan kesadaran diri (lupakan kata gentle atau jantan, yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran diri) meminta maaf secara langsung.

Dan berkaitan dengan "mengingat" itu tadi. Dengan mengingat kita bisa intropeksi diri, mengenal mana yang baik dan buruk lebih dalam (karena ukuran dewasa belum tentu menjamin seseorang dapat mengidentifikasi baik dan buruk dengan baik) dan yang terakhir, mengenalkan kita dengan kata yang mudah diucapkan tapi sulit banget dilakukan : ikhlas.






Tidak ada komentar: