Kamis, 22 Desember 2011

Rokok dan Janji

Bicara tentang rokok? ah pasti gak ada habisnya. Udah banyak banget diskusi mengenai rorkok, pro dan kontranya, positif dan negatifnya. Tapi ujungnya? yang ngerokok tetep ngerasa kampanye anti rokok itu berlebihan, sedangkan non smoker harus tetap pasrah dengan menjadi perokok pasif.

Jadi ketika diskusi alot itu terjadi, gampangnya adalah si anti rokok ngotot dan si perokok kekeuh dengan pendapat denialnya. Saya sendiri bukan seorang perokok. Pandangan saya terhadap rokok jelas, forbidden. Keberpihakan saya ada dimana itu jelas. Tapi saya malas ngebahas si perokok dan si anti rokok di sini. Udah banyak banget diskusinya, sampe ke kalangan elit sono, tapi ya masih begitu aja. Saya cuman mau cerita kenapa kok saya memilih kekeuh untuk tidak merokok.


Bukan berarti saya benar-benar tidak pernah merokok. Saya pernah merokok loh, dan itu terjadi ketika masih SD (sekitar kelas 4-5 SD). Jangan salahkan saya, salahkan itu teori imitasi sosial. Jadi dulu saya pernah hidup di lingkungan yang tidak sehat. Bukan dari keluarga, tapi usaha keluarga yang membuka rental PS mau tidak mau mendatangkan pelanggan dari segala umur. Saya yang masih kecil mengamati semuanya. Di dewasa dan si anak kecil yang jadi langganan. Untuk pelanggan anak kecil saya gak ada urusan, paling ledek-ledekan pas ngegame, tapi ketika melihat pelanggan dewasa (anak kuliahan dan pekerja), kebiasaan mereka merokok sambil main PS (yang menggambarkan kesempurnaan dalam bermain game mungkin ya) jelas tak luput dari perhatian. Ini diperparah dengan di era reformasi masih seumur jagung, kebebasan media jadi latah dimana-mana, regulasi iklan rokok belum ketat (emang masih ketat ya?) menyebabkan iklan rokok ditempel dimana-mana.

Sebagai anak kecil yang lugu, saya tidak bisa berkutik. Siang hari, saya diam-diam ngerokok (di rental PS juga jual rokok eceran) di kamar pembantu yang memang tidak berpenghuni. Kebiasaan itu tidak lama. Hanya bertahan seminggu, karena orang rumah udah mulai curiga. Saat itu saya juga belum mencapai taraf addict, alias masih coba-coba.

Komitmen untuk tidak pernah merokok selamanya, sebenarnya terjadi ketika masih SMP. Saya punya teman baik, bernama Galuh, perempuan, tapi hidupnya keras. Kelas dua SMP, dia pernah bercerita. Dirinya mempunya permasalahan di paru-paru yang cukup parah. Kemudian dia berpesan (sebetulnya lebih ke arah mengancam hehehe) jika sampai aku ketahuan ngerokok di depan dia, dia tak segan buat saya babak belur. Saya tersenyum kecut, tapi dalam hati saya berjanji. Saya gak akan pernah merokok, mau di depanmu, atau bahkan di belakangmu sekalipun. Saya berjanji menganggap rokok itu najis. Saya gak tahu kadar sakit paru-paru itu seperti apa, yang saya tahu pasti adalah itu sakit. Saya juga gak mikirin masalah bahaya nikotin atau bahkan ancaman impotensi, yang saya pikirkan adalah "this is your best friend's request". I just did it..

Beruntung, saya hidup di lingkungan yang cukup mendukung. Masa SMA pergaulan saya cenderung "aman" terlepas dari gejolak abege jaman segitu. Dan berlanjut sampai sekarang. 
Masa kuliah mungkin masa yang cukup berat, karena banyak teman saya yang perokok aktif. Saya tidak keberatan sama sekali, itu pilihan masing-masing. Banyak yang memberi tawaran buat merokok, dengan alasan klasik. Saya dengan halus menolaknya. Alasan sebenarnya? mungkin kedengaran "apa banget deh..." tapi saya menjaga komitmen. Dan saya gak pernah tergoda untuk ngerokok. Iklan rokok emang kreatif, saya akui, but it never work on me.

Mungkin yang kadang membuat saya ironis adalah, kadang saya harus merelakan diri menjadi perokok pasif untuk bersosialisasi. Bukan maksa, tapi manusia emang butuh bersosialisasi, menjalin hubungan dengan yang lain. Tapi sekarang sudah banyak kemajuan, banyak teman yang mulai hormat dengan keberadaan non smoker seperti saya, mereka tetap merokok, tapi asapnya dibuang jauh-jauh dari muka si non perokok. Terlebih ketika ada kabar beberapa teman mulai stop merokok. Saya menyambutnya dengan bangga.

Saya bukan aktivis yang doyan kampanye anti rokok, tapi saya sadar rokok itu berbahaya. Anjuran buat stop merokok biarlah pemerintah dan orang-orang ahli regulasi yang melakukan. Karena pada akhirnya, keputusan untuk merokok atau tidak, itu adalah pilihan pribadi. Tiap orang punya motivasi yang berbeda untuk menentukan sebuah keputusan. Termasuk untuk berenti merokok, yang bagi perokok adalah sesuatu yang besar. Saya sendiri sudah menemukan motivasi itu. It called : promise.


3 komentar:

tistia mengatakan...

Sip :)

Laras Shinta mengatakan...

i did smoke, a bit hard smoker.Punya banyak alasan untuk mulai merokok, but in fact lebih banyak alasan untuk berhenti :).

Nanda Bagus mengatakan...

mayang : thanks!

Sinta : that's good for you, bagi saya merokok atau tidak sekarang itu udah jadi way of life, gaya hidup dan sebagainya, cuman beda diujungnya aja, sebenarnya utuk memicu berhenti merokok itu bukan butuh alasan, tapi motivasi hehehhe